Bagi penikmat film, pasti belum lupa dengan The Shawshank Redemtion. Saya bukan termasuk maniak film, tapi beberapa tahun lalu, ketika masih kuliah, pernah menonton copy-an film yang diadaptasi dari cerita pendek Stephen King tersebut di Laptop teman. Itu pertama kalinya, saya menonton film bercerita soal kehidupan penjara, dan kemudian tahu gambaran kehidupan manusia di balik prodeo.
Bagi saya, film ini memiliki kekuatan dalam alur cerita. Sang sutradara sukses memukau, "mengikat" penontonnya, sabar menanti detik demi detik cerita yang berjalan hingga mencapai ending. Ia berhasil membangun rasa penasaran dari scene ke scene. Terlebih di beberapa scene terjadi alur maju mundur, dan flasback. Film ini happy ending, tetapi saya secara pribadi sulit menebak bentuk cerita yang dihadirkan di scene akhir-mungkin karena saya tak pernah membaca cerpen Stephen King sebelumnya.
Seperti apa ceritanya? Butuh deskripsi mendetail. Tapi secara umum, saya dapat menggambarkannya, film ini bercerita soal pribadi Andy Dufresne (Tim Robbins). Mantan bankir yang tengah naik daun di tempat kerjanya itu, divonis dua kali seumur hidup oleh pengadilan. Andy dianggap terbukti melakukan pembunahan sadis terhadap istri dengan teman selingkuhannya. Namun, sebenarnya dalam film ini digambarkan, Andy tak melakukan perbuatan sebagaimana dituduhkan.
Tak terima, ia pun merencanakan pelarian dari penjara bernama Shawshank Redemtion itu, sebuah rumah tahanan dengan sistim pengamanan superketat, penjagaan berlapis, dan tentu dikelola seorang pimpinan sipir yang tiran, Samuel Norton (Bon Gunton). Sebenarnya film ini hanya bermuara pada proses pelarian, tapi di sela-selanya juga disajikan sisi kehidupan penjara dengan segala perilaku manipulatif, kolusi, korupsi dan nepotisme yang didukung oleh sistim, baik di dalam, maupun dari luar penjara. Inilah yang membuat saya tecengang.
Perilaku jahat para narapidana justru kian terasah di tempat ini. Praktik-praktik komodifikasi benar-benar menjadi ruh dalam kehidupan mereka. Reward and punishment dijual-belikan alias semua ada harga yang harus dibayar narapidana. Tak luput, Andy pada akhirnya harus menjadi bagian dari itu. Namun, Ia dengan latar belakang bankir intelek, memiliki ruang lebih besar untuk ikut memainkan ritme “permainan”. Ia tahu celah, dan memanfaatkan hobby kepala sipir yang senang menyalahgunakan wewenang mengeruk keuntungan. Alhasil, Ia menjadi akuntan pribadi sang kepala.
Begitu seterusnya, hingga terakhir Andy peran yang dilakoninya itu berhasil mengelabui dan mengalihkan perhatian segenap orang-orang di penjara. Dan, kemudian melarikan diri melalui pipa pembuangan tinja.
Tentu, tulisan ini tak lebih hanya gambaran kasar dari filmnya yang sungguh-sungguh menarik. Apa yang saya sampaikan tak lebih sebagai pengantar dalam melihat problematika lembaga pemasyarakatan di negeri kita. Seperti yang baru saja saya saksikan di televisi baru-baru ini. Sebuah peristiwa yang kembali terkait dengan tanah leluhur kami, yaitu tana Luwu. Setelah lalu terjadi bentrokan antara massa pendukung pemekaran Walenrang-Lamasi, dengan aparat kepolisian di Walenrang, Kabupaten luwu, kali ini kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kota Palopo. Sekelompok narapidana dan tahanan di rumah rehabilitasi itu mengamuk, kemudian membakar gedung yang mereka huni.
Sedih, tapi juga tak kaget. Karena soal Lapas, memang satu dari sekian cerita miris yang tak pernah punya ujung pangkal di negeri ini. Sejak beberapa tahun silam, peristiwa kerusuhan di Lapas berulang-ulang terjadi. Selama tahun 2013 kerusuhan Lapas terjadi sebanyak enam kali. Paling parah di Insiden di Lapas Tanjung Gusta, Sumatra Utara, 11 Juli 2013. Penjara tersebut diduga dibakar para narapidana yang tak terima dengan seretnya listrik dan air di Lapas. Mereka mengamuk, dan menjebol pintu utama Lapas. Insiden itu menyebabkan lima orang tewas, masing-masing dua sipir, satu napi, dan dua juru masak. Sebagian kabur.
Apa yang saya nonton di film Shawshank Redemtion adalah cermin kehidupan Lapas di negara kita. Yah, kecuali alur cerita dan kemenangan Andy dalam film itu tentunya. Hemat itu kian kuat saat saya terlibat penelitian potret penahanan pra persidangan yang dilakukan salah satu LSM dari Jakarta 2012 lalu. Saya dengan seorang senior meneliti khusus wilayah Kota Makassar dan sekitarnya. Tak hanya diproses penyidikan di Kepolisian, kami menelusuri proses penahanan hingga penitipan terduga tersangka ke Rutan Klas I Makassar.
Dengan begitu, berbagai fakta mengenai kehidupan di Rutan juga sedikit hadir dalam penelitian. Kami menggali informasi dari sejumlah sumber yang merepresentasi sistim kehidupan di Rutan, dari Sipir hingga tahanan. Walau akan dianggap sebagai sumber lemah, tapi beberapa diantaranya terpaksa kami jadikan sumber anonim. Untuk menguatkan data-data penelitian itu, kami juga menggali informasi dari mantan napi, serta melakukan analisis terhadap pemberitaan surat kabar di Makassar yang merekam beberapa kasus di Lapas dan Rutan dalam kurun waktu tertentu.
Secara umum kami menemukan beberapa hal. Pertama, Rutan dan Lapas bukan lagi sekadar tempat melalui hukuman vonis atau hukuman para narapidana dari pengadilan. Lebih dari itu, Lapas dan Rutan adalah komoditas baru untuk menumpuk pundi-pundi penghasilan. Wajah developmentalism dan postmo rupanya telah mencekoki dunia Lapas dan Rutan. Hukum dan keadilan disulap jadi komoditas pasar yang bisa diperjual-belikan.
Napi sebagai orang yang sebagian hak-haknya dicabut demi hukum, memiliki keterbatasan ruang gerak dan hidup di bawah standar kehidupan normal di luar penjara. Terutama dalam akses dan kepemilikan. Secara psikologi, seorang Napi akan berusaha meraih standar mendekati hidup normal tersebut, walaupun di dalam ruang terbatas. Sebab itu, mereka membangun nilai tawar seperti dilakukan Andy.
Sipir, tahu persis kondisi psikologis itu. Maka mereka pun menyiapkan berbagai gratifikasi dan komodifikasi asal mendatangkan keuntungan seperti yang dilakoni Norton. Terjadilah transaksi. Beragam kebutuhan, mulai dari penggunaan alat komunikasi, ruang penjara yang layak, hingga sampai narkoba.
Akses terhadap fasilitas beragam, sesuai kapasitas napi. Yang terbilang kere, paling tinggi bisa membeli rokok, menelpon keluarga sekali sebulan, menyewa kasur layak, akses air bersih, atau porsi makanan di luar dari biasanya di penjara. Bagi yang kaya, mampu menyewa ruangan beserta fasilitas yang lux seperti pada tersangka korupsi. Kondisi itu pasti hanya menguntungkan napi yang memiliki kapasitas, dari segi modal dan otot. Realitas ini pada akhirnya melahirkan ketimpangan sosial dalam Lapas dan Rutan.
Praktik komodifikasi fenomena umum dalam Lapas dan Rutan di penjuru tanah air. Modusnya juga rata-rata sama. Yaah, tak jauh-jauh karakter di film Shawshank itu. Tak ketinggalan di Kota Makassar. Praktik komodifikasi merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari antara napi dan sipir. Dari hal-hal kecil seperti akses terhadap tambahan air bersih dan tempat tidur mamadai, pulsa untuk komunikasi, sewa menyewa alat alat komunikasi, dan lain sebagainya. Lapas Klas I ini bahkan beberapa kali digerebek kepolisian. Praktik jual-beli narkoba seringkali terjadi di Rutan ini, bahkan pernah sekali melibatkan orang dekat petinggi sipir di lembaga itu.(sumber)
Kedua¸ Lapas dan Rutan rata-rata menampung tahanan dan narapidana melebihi kapasitas. Masalah ini menimbulkan efek domino di dalam Lapas dan Rutan. Di Rutan Klas I Makassar misalnya, pada akhir tahun 2012 saja mengalami kelebihan empat ratus narapidana. Rutan yang dibangun 1989 tersebut idealnya hanya menampung maksimal 600 napi. Jadi, satu ruangan yang normal menampung 5-6 orang, dihuni hingga 10 orang.
Overcrowded yang terjadi di Lapas dan Rutan mempengaruhi aspek pelayanan napi baik dari segi kesehatan, kebutuhan makan, dan lain-lain. Itu sudah pasti. Di luar soal tak seimbangnya antara sipir dengan jumlah tahanan dan napi, juga terjadi ketidaksesuaian dengan budget pengelolaan rutan dari pemerintah. Umumnya, alokasi pemerintah bersifat tetap dalam satu masa anggaran. Sementara, jumlah tahanan dan napi terus meningkat di luar dari hitungan matematis anggaran tersebut. Akibatnya, perawatan napi yang sakit biasanya diminimalisir dari sisi pembiayaan. Yang harusnya dirawat di Rumah Sakit, akhirnya dirawat di klinik dengan perawatan seadanya. Begitupula porsi makan biasanya berkurang.
Saya tentu tak mampu menakar secara psikologis apa pengaruhnya pada perilaku napi. Tapi hampir dipastikan memiliki pengaruh besar dalam dinamika sosial di dalam lembaga. Beberapa napi dalam penelitian kami beberapa waktu lalu itu, mengaku merasa diperlakukan tidak adil. Entah di Makassar, tapi dari data penelitian teman-teman di daerah lain, seperti di Jakarta dan Medan, kondisi seperti itu seringkali mendorong napi melakukan pemberontakan-pemberontakan di dalam Lapas dan Rutan. (sumber)
Setelah penelitian kami di awal tahun 2012 itu, menyusul kemudian peristiwa kerusuhan pecah di beberapa Lapas dan Rutan. Masalah di dalam dunia yang bersembunyi dibalik dinding pagar dan kawat berduri itu pelan-pelan terkupas. Meski menurut hemat saya, kupasan tersebut baru menyentuh kulit luar, hingga kini Lapas dan Rutan masih terbungkus kuat. Yaah, selama Lapas dan Rutan adalah ladang yang tak pernah tandus. Maka dibaliknya aktor kuat seperti Samuel Norton akan datang silih berganti memelihara tanaman mereka.
Begitulah realitas kehidupan Lapas dan Rutan kita. Ketika duduk di depan televisi menyaksikan berita kerusuhan di Lapas Palopo, saya mengingat Shawshank Redemtion. Film tentang seorang narapidana yang berhasil memenangkan hidupnya.
Batangase, 16 Desember 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H