Mohon tunggu...
Abdul Chalid Bibbi Pariwa
Abdul Chalid Bibbi Pariwa Mohon Tunggu... -

Warga di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Shawshank Redemtion dan Potret Lapas Kita

18 Desember 2013   12:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:47 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Napi sebagai orang yang sebagian hak-haknya dicabut demi hukum, memiliki keterbatasan ruang gerak dan hidup di bawah standar kehidupan normal di luar penjara. Terutama dalam akses dan kepemilikan. Secara psikologi, seorang Napi akan berusaha meraih standar mendekati hidup normal tersebut, walaupun di dalam ruang terbatas. Sebab itu, mereka membangun nilai tawar seperti dilakukan Andy.

Sipir, tahu persis kondisi psikologis itu. Maka mereka pun menyiapkan berbagai gratifikasi dan komodifikasi asal mendatangkan keuntungan seperti yang dilakoni Norton. Terjadilah transaksi. Beragam kebutuhan, mulai dari penggunaan alat komunikasi, ruang penjara yang layak, hingga sampai narkoba.

Akses terhadap fasilitas beragam, sesuai kapasitas napi. Yang terbilang kere, paling tinggi bisa membeli rokok, menelpon keluarga sekali sebulan, menyewa kasur layak, akses air bersih, atau porsi makanan di luar dari biasanya di penjara. Bagi yang kaya, mampu menyewa ruangan beserta fasilitas yang lux seperti pada tersangka korupsi. Kondisi itu pasti hanya menguntungkan napi yang memiliki kapasitas, dari segi modal dan otot. Realitas ini pada akhirnya melahirkan ketimpangan sosial dalam Lapas dan Rutan.

Praktik komodifikasi fenomena umum dalam Lapas dan Rutan di penjuru tanah air. Modusnya juga rata-rata sama. Yaah, tak jauh-jauh karakter di film Shawshank itu. Tak ketinggalan di Kota Makassar. Praktik komodifikasi merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari antara napi dan sipir. Dari hal-hal kecil seperti akses terhadap tambahan air bersih dan tempat tidur mamadai, pulsa untuk komunikasi, sewa menyewa alat alat komunikasi, dan lain sebagainya. Lapas Klas I ini bahkan beberapa kali digerebek kepolisian. Praktik jual-beli narkoba seringkali terjadi di Rutan ini, bahkan pernah sekali melibatkan orang dekat petinggi sipir di lembaga itu.(sumber)

Kedua¸ Lapas dan Rutan rata-rata menampung tahanan dan narapidana melebihi kapasitas. Masalah ini menimbulkan efek domino di dalam Lapas dan Rutan. Di Rutan Klas I Makassar misalnya, pada akhir tahun 2012 saja mengalami kelebihan empat ratus narapidana. Rutan yang dibangun 1989 tersebut idealnya hanya menampung maksimal 600 napi. Jadi, satu ruangan yang normal menampung 5-6 orang, dihuni hingga 10 orang.

Overcrowded yang terjadi di Lapas dan Rutan mempengaruhi aspek pelayanan napi baik dari segi kesehatan, kebutuhan makan, dan lain-lain. Itu sudah pasti. Di luar soal tak seimbangnya antara sipir dengan jumlah tahanan dan napi, juga terjadi ketidaksesuaian dengan budget pengelolaan rutan dari pemerintah. Umumnya, alokasi pemerintah bersifat tetap dalam satu masa anggaran. Sementara, jumlah tahanan dan napi terus meningkat di luar dari hitungan matematis anggaran tersebut. Akibatnya, perawatan napi yang sakit biasanya diminimalisir dari sisi pembiayaan. Yang harusnya dirawat di Rumah Sakit, akhirnya dirawat di klinik dengan perawatan seadanya. Begitupula porsi makan biasanya berkurang.

Saya tentu tak mampu menakar secara psikologis apa pengaruhnya pada perilaku napi. Tapi hampir dipastikan memiliki pengaruh besar dalam dinamika sosial di dalam lembaga. Beberapa napi dalam penelitian kami beberapa waktu lalu itu, mengaku merasa diperlakukan tidak adil. Entah di Makassar, tapi dari data penelitian teman-teman di daerah lain, seperti di Jakarta dan Medan, kondisi seperti itu seringkali mendorong napi melakukan pemberontakan-pemberontakan di dalam Lapas dan Rutan. (sumber)

Setelah penelitian kami di awal tahun 2012 itu, menyusul kemudian peristiwa kerusuhan pecah di beberapa Lapas dan Rutan. Masalah di dalam dunia yang bersembunyi dibalik dinding pagar dan kawat berduri itu pelan-pelan terkupas. Meski menurut hemat saya, kupasan tersebut baru menyentuh kulit luar, hingga kini Lapas dan Rutan masih terbungkus kuat. Yaah, selama Lapas dan Rutan adalah ladang yang tak pernah tandus. Maka dibaliknya aktor kuat seperti Samuel Norton akan datang silih berganti memelihara tanaman mereka.

Begitulah realitas kehidupan Lapas dan Rutan kita. Ketika duduk di depan televisi menyaksikan berita kerusuhan di Lapas Palopo, saya mengingat Shawshank Redemtion. Film tentang seorang narapidana yang berhasil memenangkan hidupnya.

Batangase, 16 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun