“Centong sayur Mama patah nih, Gi,” begitu pesan Whatsapp dari Mama, yang aku terima sore itu. Isi pesan yang rasanya tidaklah terlalu penting. Namun aku tahu, centong itu punya sejarah yang cukup panjang di keluarga kami.
Centong sayur itu adalah salah satu hadiah perkawinan Mama dan Papa dari kerabatnya. Sejak saat itulah centong sayur itu selalu menjadi andalan Mama di dapur. Tidak terasa telah hampir 50 tahun, centong itu selalu menemaninya di dapur setiap memasak. Tak peduli apapun masakannya, centongnya selalu yang satu itu.
Centong itu seolah-olah sudah menjadi bumbu rahasia, untuk setiap masakan Mama yang terkenal kelezatannya. Ya, Mama memang mempunyai keahlian memasak yang cukup terkenal di lingkungannya. Bahkan dulu, ia juga sering menitipkan hasil masakannya di pasar-pasar terdekat rumah kami. Dan hasilnya pun cukup lumayan untuk meringankan beban ekonomi keluarga kami.
“Lumayanlah, untuk beli-beli bumbu dapur,” begitu kata Mama sambil tersenyum, setiap kali menerima setoran dari para pemilik toko, tempat ia biasa menitipkan masakannya. Tentu saja uang hasil berjualan itu, tidak hanya cukup untuk membeli bumbur dapur saja. Tetapi uang tersebut juga mempunyai andil dalam membiayai uang sekolah kami bertiga, anak-anaknya.
Sebetulnya bagi kami bertiga, yang paling berkesan adalah masakan Mama yang lezat, dan bukan centongnya. Masih lekat dalam ingatanku, bagaimana lezatnya rawon, opor ayam, sup buntut dan masakan-masakan lainnya. Semuanya itu bertambah nikmat, karena kami makan bersama-sama, satu keluarga.
Biasanya ini adalah saat yang mengasyikkan bagi kami. Setelah seharian, bergulat dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Kebersamaan menikmati masakan Mama, seolah menjadi obat paling manjur dalam mengatasi kelelahan kami. Suatu kenangan indah pada masa kecil, yang tak mungkin kami lupakan.
“Mungkin ia lelah,” begitu pikirku ketika menerima kabar tentang centong itu. Bayangkan saja, hampir 50 tahun dipakai dan tak pernah seharipun absen. Rasanya memang sudah waktunya, ia beristirahat.
Segera akupun menghubungi adik-adik, untuk mengabarkan berita itu. Tetapi nampaknya merekapun sudah mengetahuinya. Rupanya, Mama mengirimkan pesan ke semua anaknya. Tampaknya ia betul-betul merasa kehilangan dengan rusaknya centong itu.
Tentu saja, bukanlah hal yang sulit untuk membeli centong baru. Cukup dengan membelikannya di marketplace-marketplace yang ada, maka centong baru bisa diantar pada hari yang sama. Namun kali ini, aku dan adik-adikku ingin memberikan kejutan untuk Mama. Kami akan membelinya dan mengantarkan langsung kerumahnya.
“Kita kasih Mama surprise, yuk,” kataku ke adik-adikku. Merekapun dengan cepat menyetujui rencana tersebut.
Namun ternyata membelinya adalah urusan yang mudah, tapi mengantarkannya langsung, adalah hal yang berbeda. Maklum saja, kami bertiga, tinggal di kota-kota yang berbeda dengan orang tua kami.
Membuat rencana pulang kampung bersamaan dari 3 kota yang berbeda, ternyata bukanlah hal yang mudah. Kondisi pandemi menambah rumit rencana pulang kampung tersebut. Namun dengan tekad yang bulat, akhirnya kami bisa menjalankannya. Tentu saja kami tidak akan melupakan centong sayur baru, yang akan diberikan ke Mama.
Setelah menempuh perjalanan udara yang lumayan melelahkan dari kota masing-masing, akhirnya kami bisa bertemu di bandara Soekarno Hatta. Untuk kemudian meneruskan perjalanan ke rumah orang tua kami.
Ketika akhirnya tiba di rumah, Mama dan Papa terlihat cukup terkejut melihat kedatangan kami. Maklum ini bukanlah hari raya atau hari-hari istimewa lainnya, yang biasanya kami berkumpul bersama.
Dan yang lebih mengejutkan bagi Mama ialah, ketika kami mengutarakan maksud kepulangan kami. “Ini loh Ma, centongnya kita beliin yang baru,” demikian kataku sambil memberikan centong baru itu.
“Aaaahhh kalian ini pulang, karena mau beliin Mama centong baru, atau kangen sama masakan Mama,” demikian katanya, yang kemudian disambut dengan derai tawa kami semua.
Yah, harus kami akui, kami semua memang sangat rindu dengan masakan Mama. Tetapi tentu saja, bukan hanya rindu dengan masakan Mama, kami juga sangat rindu dengan kedua orang tua kami. Rindu dengan lingkungan, tempat kami dibesarkan. Rindu dengan momen-momen bahagia, masa kecil kami. Dan yang terpenting adalah, rindu dengan kebersamaan kami sebagai keluarga. Suatu kerinduan yang tidak mungkin bisa terobati, hanya dengan saling mengirimkan pesan singkat di Whatsapp.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H