Sebelumnya….
Aku menulis ini pada malam Minggu. Mungkin disaat kau sedang siap ke pesta. Menghadiri pernikahan teman, atau bisa juga mantan pacar. Atau mungkin juga disaat kau sedang siap ke sebuah restoran untuk makan Sushi. Bersama Bapa Mama yang kau cintai. Atau mungkin juga disaat kau siap-siap ke Gereja, pergi berdoa agar Tuhan selalu memberi berkat untuk keseharian dan cita-cita masa depanmu. Atau bisa juga disaat kau baru saja pulang, dari nongkrong sore bersama teman-teman kantor, menghabiskan sore Sabtu bersama dengan riang. Atau mungkin disaat kau sedang berteleponan dengan kekasihmu, melepas rindu yang menua dan mungkin saja merencanakan perjumpaan yang romantis. Atau mungkin saja disaat kau sudah di rumah, dan memilih tak kemana-mana selepas pulang kerja yang melelahkan ingatan.
Aku menulis ini sebenarnya sejak siang tadi. Hanya saja, pikiranku tak sebagus kehendakku untuk tidur. Pun dua gelas Kopi yang aku minum, tak membuat kata-kata mengalir begitu saja. Sampai aku mencicilnya hingga petang. Lalu beberapa anak-anak pelajar salah satu SMA di kota ini datang dan meramaiakn kantor tempatku bekerja.
Mereka datang untuk merencanakan perayaan ulang tahun seorang teman perempuan mereka. Entah alasan apa mereka memilih tempat ini. Beberapa di antara mereka meniup balon, beberapa di antara yang lain latih nyanyi ‘Selamat Ulang Tahun’ di studio music mini kantor ini. Rencananya, malam Minggu ini, mereka akan memberi kejutan pada teman mereka itu. Dengan balon-balon, nyanyi-nyanyi, dan tentu saja dengan harapan-harapan terbaik. Ah, baik sekali mereka.
Jadi, aku menulis ini, sejak siang tadi, hingga petang dan beberapa anak-anak remaja menyanyikan lagu ulang tahun.
Aku menulis ini, untuk ingatan-ingatan setelah kita jumpa, untuk kenangan-kenangan agar tak lekas menua.
Aku menulis ini, untuk sebuah malam Minggu.
Tentang ‘Tepi Danau, Air Kelapa Muda, dan Pertanyaan-pertanyaan yang Berlarian”.
Aku menulis ini, tentang kita.
Aku menulis ini, untukmu.
Sebab hanya dengan menulis, aku bisa mencintaimu sebebasnya.
Semoga kau membacanya dengan segenap ingatan manis yang kau punya.
Selamat membaca!
******
Aku memang suka jalan-jalan. Namun aku tak selalu suka mengunjungi tempat yang sama berulangkali. Itu membosankan. Namun untukmu yang baru kukenal, aku melakukannya.
Kala itu, September hampir usai. Pagi sebuah hari Minggu dan orang-orang banyak ke Gereja. Sehari setelah kita berjumpa dalam tubuh pesawat, dalam penerbangan Denpasar-Labuan Bajo. Akhirnya aku benar-benar mengantarmu ke Danau Sano Nggoang, sebuah danau vulkanik yang ditempuh selama hampir dua jam setengah dari Labuan Bajo. Ini gara-gara tawaranku sehari sebelumnya, ketika kita terlibat dalam perbincangan hangat dalam pesawat. Sebuah tawaran dan ajakan yang mesti dilunasi. Tentu saja aku senang melakukannya. Aku tak tau mengapa. Yang aku tau dan rasa, sejak kita jumpa dalam pesawat, aku betah berbicara apa saja denganmu dan aku juga betah mendengarmu berbicara. Dan sebuah perjalanan jauh bersama, apalagi dengan sepeda motor, adalah kesempatanku untuk mengenalmu lebih jauh dan lebih dekat. Begitu pikirku.
Malam hari sebelumnya, setelah pulang makan, kau sempat bertanya, memastikan apakah aku benar-benar serius dengan tawaranku atau tidak.
Setelah turun dari motor dan sebelum masuk pintu rumah yang menjadi kantorku bekerja, kau bertanya,
“Oh ya, besok, bisa kan ke danau?”, tanyamu serius.
“Yah, tentu saja. Kita pagi-pagi besok. Takut hujan”, jawabku.
Kau mengangguk. Mungkin senang.
Aku mulai memikirkan perjalanan. Sebab jalanan ke Danau lumayan melelahkan. Ditambah lagi, Danau itu adalah jalanan menuju ke kampungku. Tentu aku sudah bosan melihatnya. Lagipula, baru kali ini aku ke Danau, mengantar seseorang, dan hanya untuk jalan-jalan.
Namun, untuk sebuah keriangan yang hanya bisa diraba melalui senyuman dan wajah yang ceria, aku menyanggupinya dengan segenap suka dan perasaan senang.
…..untuk sebuah perjumpaan yang manis, di atas ketinggian tiga puluh ribu kaki…….
Aku mantap. Jadilah, pagi Minggu itu aku mengantamu ke Danau.
***
Pagi itu, langit Labuan Bajo cerah. Setelah mandi dan bersih-bersih, kita akhrinya benar-benar berangkat. Sebuah perjalanan yang lumayan panjang. Melewati puluhan tikungan yang nakal dan pendakian juga penurunan yang membuatmu selalu memegang pantat motor. Mengapa tidak memelukku saja?
Sepanjang perjalanan, tak banyak yang kita bincangkan. Sesekali aku mengenalkan nama-nama beberapa tempat, sesekali juga kau berbicara seadanya. Selebihnya, hanya deru motor yang terdengar dan kita sibuk dengan pikiran kita masing-masing.
Gadis, apa yang kau pikirkan sepanjang perjalanan itu?
***
Hujan kecil menyambut kedatangan kita di Danau Sano Nggoang. Di tepian Danau, aku membiarkanmu bermain bersama keheningan alam. Menikmati air danau yang tenang. Kau mengambil ponselmu dan mengambil beberapa gambar. Memotret air danau yang diam, pepohonan yang riang, mata air panas, dan air pancur yang hangat. Dan aku, sesekali mencuri pandang. Mengamatimu dari kejauhan, memuji auramu. Lalu menyembunyikan senyuman senang. Ah, perasaan punya buat.
Lalu kau tiba-tiba memintaku, memotretmu dengan latar belakang danau yang tenang. Duduk di atas motor, kau bergaya.
Dan aku mulia membidik.
Senyummu. Bibirmu. Bola matamu. Keningmu. Lesung pipimu. Hidungmu. Dagumu. Rambutmu.
Aduh, mama e.
Aku jadi ingin lama-lama bersamamu. Di tepian danau ini. Bersama angin dan pertanyaaan-pertanyaan yang berlarian.
***
Aku mengajakmu meneruskan perjalanan. Mengelilingi separuh lainnya danau itu. Hingga kita sampai di sebuah pondokan kecil, tempat dimana banyak anak-anak kecil singgah sepulang misa hari Minggu. Mereka dari kampung sebelah, dan datang Misa di Gereja di kampung tepi danau ini.
Aku sedikiti terkejut. Ternyata kau sangat menyukai anak kecil. Kau mengajak mereka berfoto bersama. Wajahmu terlihat sangat senang. Senyummu sumringah.
Ah, aku maklum. Kau gadis kota yang jarang bertemu bocah-bocah lugu di pelosok kampung jauh dari keramaian.
Gadis, kelak kau akan menjadi seorang ibu yang baik!
Siang itu, kita merayakan perjumpaan dengan bocah-bocah yang berjumlah belasan itu. Sampai pemilik pondokan itu datang, dan aku menanyakan kelapa muda.
Pondokan itu memang membahagiakan. Selain letaknya di bibir danau, ia juga menjual makanan dan minuman kecil. Juga pemiliknya punya kebun luas. Tempat puluhan pohon Kelapa tumbuh bebas dan ramai. Singgah di pondokan ini, tak lengkap rasanya bila tidak mencicipi Kelapa mudanya.
Pada Ibu pemilik pondokan, aku memesan Kelapa muda tiga biji. Cukup untuk kita berdua.
Ditonton oleh belasan bocah-bocah, kau meneguk airnya dan menyeruput isinya. Kita duduk bersisian. Aku di kiri dan kau di kanan. Sesekali aku melihatmu makan kemudian tersenyum.
Tuhan, bolehkah aku menjadi air kelapa muda saja?
Lama kita singgah di pondokan kecil itu. Bersama belasan bocah, tiga biji kelapa muda, dan suka cita yang berenang bersama itik-itik di permukaan danau.
Kau terlihat sangat menikmati. Niscayanya tiap pejalan, tentu tiap perjumpaan dengan hal-hal baru adalah perayaan. Pun diriku, aku menikmati. Walau pondokan itu tempat yang sering kusinggahi, namun hari itu, ada kebahagiaan lain yang datang bersama hembusan angin Poco Dedeng, pegunungan yang menyanggah danau itu.
Gadis, bisakah kita berpacaran saja?
***
Tepian danau adalah tempat yang membetahkan. Bersamamu, tak ada kehendak untuk pulang. Inginnya waktu berjalan apa adanya saja, dan kita melewatinya berdua bersama rasa senang hingga petang.
Namun, kita harus pulang. Balik ke Labuan Bajo dan membawa pulang ingatan. Tentang nyanyian bersama Danau dan itik-itik yang mengapung di permukaan. Tentang dedaunan kelapa yang menari menunjuk awan-awan nakal. Tentang jumpaku denganmu yang ku tak tahu akan berakhir seperti apa. Tentang perasaan yang mulai berubah rupa.
Sepanjang jalan pulang, disiram hujan yang membuat kuyup, aku bermain bersama banyak pertanyaan.
Kau, membuat senyumku bersembunyi di balik helm yang basah. Perasaan riangku bermain bersama genangan-genangan air sepanjang jalan. Dan pada aspal jalanan, aku hanya berharap, kau dan aku menjadi pejalan yang bahagia. Namun aku sedikiti marah, kau tidak juga memelukku. Kau menggemaskan.
Gadis, .tidakkah kau tau, dingin sebab hujan itu butuh kehangatan?
Ah itu pertanyaan nakal yang tak mesti kau jawab.
***
Jelang petang, sampailah kita di Labuan Bajo. Di rumah. Utang janjiku sudah kulunasi. Aku sudah mengantarmu ke tempat yang sudah kujanjikan. Dan pergi dan pulang dari sana begitu membahagiakan. Jauh di dalam hatiku, aku berharap kau menikmati perjalanan itu dan tidak memiliki prasangka-prasangka buruk tentangku.
Malam hari selepas dari Danau, aku berterimakasih pada perjumpaan, pada obrolan, pada prasangka baik, dan pada perjalanan yang menyenangkan.
Malam itu, aku mengantarmu ke tepian pantai, menonton film bersama. Di temani angin laut dan bau kapal karam. Malam itu, malam keduamu di Labuan Bajo.
Pertanyaan-pertanyaanku tentangmu dan tentang perasaanku masih berlarian.
Gadis, kau sungguh menarik!
*****
Sesudahnya…..
Kau membaca tulisan ini mungkin saja bukan pada malam Minggu. Walau ku sangat berharap itu malam Minggu. Kau membaca tulisan ini mungkin disaat aku sedang membaca buku yang tidak pernah selesai aku tamatkan, mungkin disaat aku menyeruput secangkir Kopi dengan sedikit gula, mungkin disaat aku mencari-cari informasi tentang jurusan sekolah yang sesuai minatku, mungkin disaat aku terlibat diskusi yang tidak aku mengerti, mungkin disaat aku dalam perjalanan, mungkin disaat aku merayakan malam dengan segenap suka cita yang aku punya.
Jika kau membacanya, anggaplah ini sebuah catatan untuk ingatan-ingatan setelah kita jumpa, untuk kenangan-kenangan agar tak lekas menua. Untuk sebuah malam Minggu.
Tentang ‘Tepi Danau, Air Kelapa Muda, dan Pertanyaan-pertanyaan yang Berlarian”.
Sebab hanya dengan menulis, aku bisa mencintaimu sebebasnya.
Selamat bermalam Minggu, Gadis!
Labuan Bajo, pertengahan oktober dua ribu enam belas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H