Baru satu malam di Chengdu saya udah bosan. Pengalaman di hari pertama menyambangi Chengdu Panda Research Base bikin saya trauma karena benar-benar padat pengunjung. Lalu muncul ide kenapa tidak coba bertualang ke Tibet, mumpung udah sampai di Chengdu.Â
Di meja resepsionis hotel tempat saya nginep ada flyer paket tur ke Tibet, saya langsung samperin dan nanya-nanya. Saya dikasih tahu untuk ke Tibet selain visa China harus ada Tibet Travel Permit. Disyaratkan harus membeli paket tur plus guide langsung di travel agent.Â
Jika ingin bersolo-traveling sepertinya agak susah, bahkan mustahil izinnya disetujui. Terus izin tidak bisa jadi sehari-dua hari, normal selesai sekitar 9 hari. Ada juga pilihan untuk apply permit urgent yang bisa selesai 4-5 hari asal mau membayar lebih mahal! Whaaa.... Seminggu lagi saya udah balik ke Indonesi!Â
Saya kemudian disarankan untuk ke Tagong, beberapa brosur tentang padang rumput Tagong  dengan puncak pegunungan yang tertutup salju diperlihatkan ke saya, keren banget! Berita baiknya saya bisa jalan sendiri ke sana, tidak perlu ikut tur!Â
By the way, wilayah Tibet yang mensyaratkan permit disingkat TAR, Tibetan Autonomous Region (U-Tsang), inilah negeri Tibet yang biasa kita dengar, negeri berstatus otonom dan mendapat "perlakuan" khusus dari China.Â
Sementara di bagian barat provinsi Sichuan sebelum memasuki TAR masih ada wilayah perfektur Tibet yang wilayahnya cukup luas. Ada wilayah Ganzi/Garnze Tibetan Autonomous Prefecture (biasa disebut wilayah Kham Tibet), juga terdapat Aba/Ngawa Tibetan and Qiang Autonomous Prefecture (dikenal dengan wilayah Amdo Tibet). Wilayah Kham Tibet cukup luas mulai dari barat provinsi Sichuan hingga ke provinsi Yunnan dan Qinghai, sebagian lagi di wilayah TAR.
Walaupun ke perfektur ini tidak perlu izin khusus, namun masih ada beberapa tempat yang ternyata turis asing tidak boleh masuk, satu diantaranya adalah Larung Gar di Seda County, padahal saya kepingin banget bisa ke sana.Â
Tempat tersebut adalah Institut Budha Tibet terbesar di dunia, ada 40.000 biksu dan biksuni yang mendiami akademi. Infonya perizinan turis asing ke sini sempat buka-tutup, menyesuaikan dengan gejolak politik yang terjadi.
Bus di terminal Xinanmen rata-rata melayani trayek ke kota-kota di bagian Selatan dan Barat provinsi Sichuan. Bus lumayan bagus dilengkapi dengan AC dan TV. Kondisi jalan dari Chengdu ke Kangding yang berjarak 210 km lumayan mulus.Â
Selepas dari kota Ya'an, pemandangan dataran tinggi mulai terlihat, jalan meliuk di pinggang pegunungan dengan lembah serta aliran sungai di bawahnya. Terdapat juga terowongan di dalam perut bukit yang berfungsi sebagai jalan pintas. Kota Kangding memang berada di jalan nasional Chengdu-Lhasa yang keseluruhan berjarak 2.080 kilometer.
Sampai di Kangding sekitar jam 6:30 sore dengan cuaca gerimis tipis. Kota Kangding berada di ketinggian 2.560m merupakan tempat bertemunya sungai Zheduo dan Yala. Kangding merupakan gerbang untuk memulai perjalanan petualangan khas dataran tinggi Tibet dengan banyak pilihan destinasi eksotis.Â
Keluar dari terminal bus Kangding saya mulai sedikit panik, menanyai orang-orang tiak ada yang bisa bahasa Inggris. Saya cuma ingin menanyakan bagaimana caranya ke hotel yang terletak dekat pusat kota.Â
Pemuda China dan ibunya yang sewaktu di bus duduk di sebelah saya mencoba membantu dengan bahasa Inggrisnya yang sulit saya pahami. Lalu dia menggunakan bantuan aplikasi penerjemah di ponsel agar kami bisa berkomunikasi. Dan cara ini sering saya gunakan kalau kepepet menanyakan sesuatu ke seseorang.Â
Setelah turun dari taksi ternyata harus jalan kaki lagi 15 menit menuju hotel di atas perbukitan. Sebelum gelap saya sudah sampai di hotel. Badan menggigil karena hanya memakai hoodie, sementara orang-orang disana pada pakai jaket tebal. Dari hotel terlihat pusat kota kecil Kangding dikelilingi puncak gunung dan bukit-bukit dengan sungai yang membelah kota.Â
Suhu semakin dingin dan beku, saya mulai khawatir karena tidak bawa persiapan pakaian untuk musim dingin! Padahal waktu itu minggu terakhir bulan April, ekspektasinya musim dingin sudah berganti musim semi dengan cuaca yang lumayan hangat.Â
Tidak mau mati membeku, setelah meletakkan tas di kamar hotel, saya turun kembali ke pusat kota. Ketemu mal kecil yang hampir mau tutup, kebetulan mereka lagi sale jaket winter berbagai model, tak lupa saya juga borong kaos kaki tebel.Â
Malam pertama di Kangding saya lalui di balik selimut dan jaket tebal, sebelum tidur sempat lirik ke layar ponsel suhu udah 5 derajat, brrrrhh!Â
Pas pesan sarapan saya tanya ke staf hotel di mana lokasi bus tujuan ke Tagong. Dia nunjukin di map lokasi si minivan mangkal, ternyata cuma beberapa ratus meter dari mal tempat saya beli jaket tadi malam.
Dia sempat menelepon ke salah seorang sopir mengecek apakah hari itu ada mobil yang berangkat soalnya beberapa hari belakangan minivan gagal berangkat karena jalan masih ditutupi salju tebal.Â
Saya jadi harap-harap cemas. Saya disuruh datang saja dahulu ke tempat minivan mangkal, perkara bisa berangkat atau tidak itu urusan belakangan, huufftt...okeee!
Pas banget saya teriak di depan koko-koko yang sedang mencari penumpang, kebetulan dia salah satu sopir yang mobilnya akan berangkat. Dia bicara pakai bahasa lokal sana yang saya tidak mengerti, dia pikir mungkin saya orang Chinese, maklum muka saya agak-agak oriental busuk haha.
Biar pasti dan tidak salah jurusan saya perlihatkan ke dia foto-foto Tagong di layar ponsel, dia bilang OK lalu membukakan pintu mobil, dia masih terus nyerocos saya cuma mesem-mesem belagak mengerti. Agak lama juga nunggu penumpang lainya hingga mobil sejenis SUV made in China itu penuh dan kita berangkat.
Baru satu jam perjalanan mobil sudah memasuki daerah pegunungan. Mobil menanjak pelan di dataran tinggi pegunungan dengan salju yang semakin tebal menutupi jalan. Butiran-butiran es melayang turun dari langit terbawa angin gunung. Saya senang kegirangan melihat pemandangan keren begitu, tapi juga khawatir.
Senang karena baru pertama kali ini menyusuri jalanan penuh salju. Khawatir kalau mobil kenapa-kenapa maklum jalanan basah dan licin, takut juga kalau kami tiba-tiba harus balik ke Kangding karena jalan ditutup.Â
Sempat melewati sebuah mobil yang tergelincir dan menunggu dievakuasi. Saya bilang ke sopir untuk hati-hati. Banyak terlihat mobil-mobil yang melilitkan rantai besi ke ban, mungkin biar gampang merambah onggokan salju.
Si sopir sempat terlewat beberapa kilometer, dia lupa kalo ada penumpang "asing" yang minta turun di Tagong, karena penumpang lainnya tujuan Bamey, kota berikutnya setelah Tagong. Mobil lalu putar balik dan saya diturunkan di Tagong Square. Suasana saat itu masih sepi dan hujan salju masih turun.
Saya lihat sekeliling mencari-cari penginapan, turis biasanya menginap di hotel persis di depan Tagong Square. Hotel pertama yang saya datangi masih tutup dan tidak ada penjaga yang membukakan pintu, mungkin hotelnya hanya buka musim panas aja? Entahlah.
Lalu saya disapa oleh perempuan yang sedang beres-beres baru buka toko, dan ternyata di atas toko tersebut tersedia penginapan, saya disuruh naik ke lantai dua, lumayan dapat kamar strategis karena jendela langsung menghadap ke Tagong Square dan Tagong Temple.
Saat itu seharusnya sudah masuk musim semi dan salju sudah mencair berganti dengan tanah rumput subur menghijau. Pemilik penginapan mengatakan tahun ini musim salju lebih panjang, karena itu waktu yang tepat untuk datang adalah musim panas.
Saya sempat cek prakiraan cuaca bahwa matahari baru bersinar terang lusa, pas di hari saya meninggalkan Tagong menuju destinasi berikutnya yaitu Bamey, Danba dan Siguniangsan. Benar saja, pas menaiki minivan meninggalkan Tagong Square saya lihat bukit-bukit sekitar sudah tidak tertutup salju lagi. Seandainya saya bisa tinggal lebih lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H