‘Ini terus menerus menjadi urusan kita Tar, setiap tahun kita harus berpura pura mengirimkan surat dari –entah-siapa- yang dikirim dari kampungnya, dan ia selalu datang pada hari ini dan menaiki bus yang sama. Aku hanya tak tahu sampai kapan aku akan menulis surat palsu itu, ini membuatku selalu bimbang.’
‘
Yang penting Sarmat selalu berbaik hati meminjamkan tempat ini untuk kita, setidaknya kita selalu bisa mengawasinya ketika ia datang untuk menaiki bus malam itu dan mengacau, seharinya ia hanya membaca puisi puisi di terminal dan merokok di pojok situ, tak perlu dikuatirkan secara berlebih.’
‘Ya, kau benar , Tar’
‘Pak, berdoa saja setelah ini Will tak mengacau lagi di terminal kita, jangan sampai peristiwa 6 tahun lalu itu terulang lagi pak.’
‘Ya, dan memang mengerikan betul anak itu. Entah apa yang dia racaukan di dalam bus itu sehingga terjungkal.
Mulutku rasanya asin dan getir sekaligus, kepalaku pusing dan sakit sekali, tapi aku mengingat sakit ini, sakit yang kualami tahunan, rasanya tak pernah berubah, rasanya yang dari setahun lalu masih membekas kini menorehkan rasa yang baru lagi tetapi sama. Aku diikat, tak terlalu kencang , aku bisa melepasnya, tentu saja, ini tempatku, mereka tak mampu memenjarakanku. Tempatku yang kudiami 6 tahun, tempatku menunggu. Menunggu... apa? Setiap kali sehabis dihantam aku jadi mengingat jelas semuanya, ayahku sakit keras karena aku. Aku menggagahi Ratmi, pembantu rumah tangga kami di kampung. Aku diusir oleh ayah dan tak lama ia sakit keras karena shock , aku disuruhnya pulang. Aku tak mau pulang jika mendapat dirinya masih hidup dan bergerak walau hanya tergolek tak dapat bangun di tempat tidur, aku tak sudi melihat mukanya yang sudah berkerut itu, membayangkan mukanya waktu mengusirku sungguh menjijikan. Kini, ia sudah mati. M-A-T-I. Aku menunggu tua bangka itu mati, tua bangka yang menghanguskan harga diriku. Aahh... Aku kini bisa mengingat jelas, tidak seperti tahun tahun lalu ketika dihantam aku tak mendapatkan buah pikiran yang baru. Kini pikiranku segar sekali, sekarang segalanya telah normal, ingatanku sudah pulih benar. Aku tak perlu singgah dan menunggu lagi disini, di terminal busuk ini. Dulu kupilih terminal ini karena dari sinilah aku pertama kali ingin pulang, dan sebelum bus berangkat aku menatap langit dan merenung, tepatkah keputusanku untuk pulang? Setelah dihina dengan keji? Dan ia mengusirku? Harga dirinya sendiri telah mati karena menarik kembali ucapannya, lemah ia karena sakit. Di tengah perjalanan, batinku begitu kuat berucap dalam hati, dan harus kugemakan di dalam sini. Dengan suara nyaring aku berteriak menuntut pembebasan dari lingkaran setan penghinaan dan kuingin dia mati. Dan, mulai saat itu, kubuat orang orang di dalamnya morat marit terjungkal. Akan kugegarkan orang orang yang datang dan pergi di terminal ini, kubisiki melalui sukma mereka, bahwa kematian dan balas dendam adalah prinsipku. Sampai hari ini keinginanku yang utama akhirnya datang. Sekarang aku mau pulang, menuju pusara ayahku.
‘Ayah sakit keras Cepat pulang, Will’ (11 Januari 2000. Will terus menyimpan surat ini, dan setiap tahunnya, jika harinya tiba, ia pasti membaca surat ini.)
‘Ayah sudah sehat, kau tak perlu datang kesini’ (Setiap tahun dikirim kepala terminal, surat palsu, untuk mencegah Will menaiki bus PO. Baru Klinthing)
‘Ayah sudah sekarat. Mengapa kau belum datang juga, Will? (23 Juni 2005, Will tak pernah menerima surat ini)
‘Ayah meninggal, Will’ (31 Maret 2006, dibawa dari kampung dengan perantara kakaknya, yg menjadi kernet bus malam PO.Baru Klinthing. Will tak ingat wajah kakaknya saat berkata ‘Pulanglah, tapi jangan bersamaku, aku tak sudi.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H