Mohon tunggu...
Bob Martokoesoemo
Bob Martokoesoemo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Konsep yang abstrak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Mengalir Darah

2 Mei 2012   01:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

'Bodoh kau, jelas saja, aku terjebak disitu, kantor bertahan kebetulan kami masih punya simpanan senjata dari jaman perang. Sudiro mati.'

'Sudiro?! jelas jelas aku bertemu dengannya, wah ia sudah lebih gemuk sekarang, bersih pula penampilannya, pakai seragam hijau, gagah sekali. Begitulah seharusnya seorang pimpinan, hehehe. '

Ia terkekeh dan hampir saja aku menekan pelatuk ini, namun aku masih bisa menjawab,

'Jadi Sudiro masih hidup? aku lihat terakhir ia dibawa keluar oleh AD, bagaimana ia bisa sampai hidup? menjadi coro, begitu?'

'Tidak Bran, Sudiro bukan coro, hanya ia lebih hijau sekarang, pikirannya masih revolusioner karena ia bilang ia memakai seragam karena persoalan taktis. Ya, aku mengakui setiap pimpinan itu mempunyai maksud dan tujuan baik!'

'Begitu ya? baik, mending kau membersihkan dirimu dulu dan aku akan cari makanan di hutan. Oh satu lagi, apa Sudiro memberitahumu aku berada disini, seingatku ia hanya menyuruhku pergi ke barat, apa kau bertemu Slamet atau yang lainnya?'

'Ya, akupun coba coba menuju barat menurut Sudiro, aku tak menemui Slamet ataupun yang lain, memang ada 2 gubuk kecil lain begitu kulihat di dalam ada mayat mayat, dan dua pistol di sebelah mereka, bunuh diri sepertinya. Namun aku tak tahu siapa mereka, kader yang putus asa.'

'Lebih baik dibandingkan kader yang masih tinggal tapi menjual kepalanya sendiri, masih lebih revolusioner mereka yang mengakhiri kehidupannya sendiri, mungkin kau beranggapan mereka menyerah terhadap dialektika kehidupan, tapi mereka mengerti mereka juga punya kuasa terhadap urat nadinya sendiri, melihat kenyataan yang berbanding terbalik dengan kebudayaan komunis yang dilekatkan pada mereka!'

Di dalam gubuk ada lampu petromaks kecil yang nyalanya bagaikan nyawa yang sekarat, karena itu aku tak bisa melihat wajah Solihin tapi aku masih mampu mengamati gerak geriknya. Solihin berdiri melepas celananya yang lengket dan berbau amis darah, bersiap untuk membersihkan diri.

'Oh ya Hin, dari gubuk kau tuju arah selatan, tidak jauh ada sumber air yang masih bersih, kau bisa berendam disitu. Nih sabun colek, pakailah, daripada tak ada sama sekali.' imbuhku.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun