Maka semangat Natal adalah semangat mengosongkan diri dari ambisi dan sikap tinggi hati kita. Kita ganti kesombongan dan sikap mencari pengakuan dengan sikap rendah hati dan sikap penuh syukur.
Yang kedua, semangat Natal juga bisa kita ambil hikmahnya dari kehadiran para gembala yang menyambut bayi Yesus.
Siapa para gembala ini?
Pada masa Tuhan Yesus, gembala adalah kaum miskin yang dipandang rendah oleh para pemuka agama dan masyarakat yang merasa diri lebih suci. Mengapa? Para gembala ini seringkali karena pekerjaan mereka, mereka tidak dapat hadir dalam ibadat di Bait Allah dan sinagoga Yahudi. Hal ini membuat para gembala kerap dicap sebagai orang yang malas beribadah.
Yang kedua, para gembala ini  kerap juga dipersalahkan karena hewan gembalaan mereka, misalnya domba, memakan tanaman para petani. Jadi, para gembala ini sering mendapat cibiran dan hinaan karena pekerjaan mereka yang kotor, jauh dari ibadat suci, dan bahkan merugikan orang lain.
Nah, menariknya, Yesus justru disambut para gembala yang dianggap sebagai pendosa dan jauh dari Tuhan ini.
Bayi Yesus tidak disambut oleh para pemuka agama atau para penguasa pada waktu itu. Justru orang-orang sederhana seperti para gembala yang menyambut bayi Yesus.
Kita diajak untuk menghargai orang-orang sederhana di sekitar kita. Para karyawan kita, asisten rumah tangga kita, orang-orang miskin yang kita jumpai di antara para tetangga kita.
Kita diajak untuk solider seperti Yesus yang solider pada mereka yang sering dianggap pendosa. Mereka yang dicap hidupnya tidak baik justru perlu kita sapa agar hidupnya berubah.
Bagaimana agar Natal tidak menjadi rutinitas saja?Â
Agar tidak rutin, kita perlu justru menyiapkan Natal dengan penuh perhatian. Ada masa adven yang berarti masa penantian sebelum Natal. Masa Adven ini perlu kita optimalkan dengan olah rohani dan gerakan peduli sesama.