“Mimpi saya adalah menciptakan kretek terbaik, tetapi di dunia kretek, perempuan hanya boleh menjadi pelinting saja.”
Dasiyah (Gadis Kretek)
“Gadis Kretek” baru-baru ini menarik perhatian kita. Serial web yang dibintangi aktor dan aktris papan atas Indonesia ini diangkat dari novel populer karya Ratih Kumala. “Gadis Kretek” memotret mekarnya industri kretek di Jawa Tengah pada masa awalnya di Indonesia. Dasiyah sang gadis kretek ingin menciptakan saus baru. Dibalut dengan kisah romansa, gadis Kretek seolah menjadi pintu masuk kita untuk mengenal sejarah dan peran Sigaret Kretek Tangan dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah produk asli Indonesia yang secara konsisten menyerap tenaga kerja. Peran SKT dalam menopang stabilitas perekonomian Indonesia tidak dapat dimungkiri. Bagaimana sejarah dan peran SKT, si “Gadis Kretek” di dunia nyata, dalam perekonomian Indonesia, bahkan sejak masa sebelum kemerdekaan?
Sejarah Sigaret Kretek Tangan (SKT)
Sejarah SKT berkelindan dengan sejarah kolonialisme Barat di Nusantara. Menurut Agus Salim (1884-1954), Menteri Luar Negeri ketiga Indonesia, cengkih dan tembakau adalah alasan kolonialis Barat menaklukkan dunia.
Cengkih awalnya hanya ditemukan di lima pulau kecil di Maluku. Pada abad ke-15, bersama dengan pala dan lada, cengkih menarik minat negara-negara Barat yang lantas menjajah Nusantara.
Benar bahwa Portugislah yang pertama kali membuat perjanjian perdagangan cengkih dengan Sultan Ternate (1513). Akan tetapi, justru perusahaan Hindia Timur Belandalah yang sukses merebut monopoli pasar cengkeh di seluruh dunia pada awal abad ke-18. Peran ini akan digantikan oleh Zanzibar sekitar tahun 1800.
Mark Hanusz dalam “Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes” (2000) mencatat, pada awal abad ke-17 tembakau mulai diperkenalkan ke Nusantara. Sejak itulah, tembakau menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nusantara, terutama di Pulau Jawa.
Penggunaan tembakau mulai bersaing dengan pemakaian sirih, terutama di kalangan laki-laki kelas atas di Jawa. Rokok dilinting satu per satu dari tembakau yang ditanam sendiri. Segera setelah perkebunan tembakau komersial pertama didirikan di Sumatera pada tahun 1850, muncullah rokok komersial pertama yang dibungkus dengan kulit jagung atau klobot.
Hanusz juga menulis, rokok kretek dengan campuran cengkeh dan tembakau pertama kali diproduksi sekitar tahun 1880 di Kudus, Jawa Tengah. Mengapa rokok kretek menjadi begitu populer dengan begitu cepat masih belum diketahui secara pasti. Begitu pula siapa yang pertama kali menemukan bahan ketiga dari kretek, yaitu “saus”. Menurut Ensiklopedia Kretek Nusantara, saus atau wur ini antara lain dibuat dari cengkeh, cendana, klembak, kayu manis, kemenyan, kemukus, dupa, pala, adas, palasan, klabet, kapulaga, dan jinten. Fungsinya adalah untuk menstabilkan rasa.
Mekarnya industri rokok kretek
Pada tahun 1925 di Kudus, berdirilah Bal Tiga, produsen rokok kretek berskala besar. Bal Tiga memadukan teknik produksi modern dengan taktik promosi yang agresif. Tak tanggung-tanggung, Bal Tiga menjadi salah satu bisnis pribumi terbesar di Hindia Belanda dengan 15.000 karyawan.
Pada masa jayanya, konsumsi cengkeh telah jauh melampaui produksinya. Bahkan, delapan puluh persen cengkeh yang digunakan dalam rokok kretek harus diimpor dari Zanzibar. Mekarnya industri kretek ini membuat Belanda mulai mengenakan cukai tembakau. Puncaknya, pada tahun 1932 Belanda memperkenalkan banderol, sebuah stiker cukai, yang masih ditemukan pada kemasan rokok saat ini.
Sayang sekali, pendudukan Jepang mengubah situasi secara drastis. Bisnis rokok kretek bertumbangan. Tak terkecuali pabrik Bal Tiga yang gulung tikar.
Situasi industri kretek Indonesia mulai pulih pada masa 1970-an. Pemerintah Indonesia meluncurkan program budidaya cengkeh skala kecil. Hasil upaya keras ini berbuah manis. Perlahan namun pasti, kretek menjadi populer di luar Pulau Jawa, seiring dengan program transmigrasi yang membuat kretek tersebar di pelosok negeri pada tahun 1980-an. Pada tahun 1990 Indonesia memproduksi sekaligus mengonsumsi dua pertiga pasokan cengkeh dunia.
Mengenai jangkauan luas kretek di Nusantara, ada satu pengalaman menarik yang penulis saksikan sendiri di Kalimantan. Dalam ritual pemakaman adat sebuah sub suku Dayak di Kalimantan Timur, salah satu barang yang diberikan kepada roh tak kasat mata di pekuburan adalah rokok. Pada masa lalu, yang ditaruh di pekuburan adalah kretek.
Pada tahun 2000, terdapat sekitar enam ratus produsen rokok kretek di Indonesia. Kretek menempati urutan kedua setelah minyak bumi dan gas alam dalam hal pendapatan nasional. Dalam bukunya, Mark Hanusz mendokumentasikan sejumlah pabrik yang hanya memproduksi rokok lintingan tangan atau SKT.
Peran Sigaret Kretek Tangan dalam Ekonomi Indonesia
Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah industri padat karya yang sangat berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja. Industri SKT turut berkontribusi menggerakkan perekonomian daerah dan nasional. Peran sentral SKT sejatinya semakin terasa saat dikaitkan dengan semangat Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional yang kita peringati pada 17 Oktober 2023.
Badan PBB untuk Buruh atau ILO mencatat dalam Proyeksi Ketenagakerjaan dan Sosial Dunia ILO 2023, pertumbuhan lapangan kerja dunia hanya sebesar 1% pada 2023. Pada saat bersamaan, Indonesia masih kesulitan menyediakan lapangan kerja. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2023, angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta orang.
Menurut Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), industri SKT terbukti mampu menyerap tenaga kerja, khususnya dari kalangan perempuan. Sebanyak 97% pekerja SKT adalah kaum perempuan yang menjadi penyokong ekonomi keluarga. Tak dapat disangkal, hingga saat ini ekosistem SKT menimbulkan dampak berlipat ganda dalam ekonomi lokal dan nasional. Ekonomi lokal akan terbantu ketika industri SKT mendatangkan rezeki juga bagi sektor transportasi, makanan, dan UMKM di sekitarnya.
Data resmi menunjukkan terjadinya kenaikan pendapatan negara dari cukai tembakau. Dilansir Katadata, penerimaan cukai hasil tembakau per semester I 2022 sudah mencapai Rp118 triliun. Hal ini menunjukkan pertumbuhan 33,3% dibanding semester I tahun sebelumnya. Hal ini jugalah yang membuat pemerintah berencana menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok rata-rata 10% pada 2023 dan 2024.
Dilansir Antaranews, pada tahun 2000 produksi tembakau Indonesia adalah 260.000 ton. Produksi ini masih belum memenuhi kebutuhan 338.000 ton. Di sisi lain, ekspor tembakau 31.130 ton pada tahun 2020 dan menurun menjadi 27.410 ton pada tahun 2021. Impor tembakau mencapai 116.930 ton pada 2021.
Data menunjukkan, luas lahan pertanian tembakau di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 219.268 hektar. Lahan seluas itu mampu menghasilkan 260.090 ton tembakau dan menyerap 1,7 juta tenaga kerja petani dan buruh tani. Belum lagi para pekerja pabrik SKT. Sebanyak 90 persen produksi rokok di Indonesia saat ini disokong oleh SKT.
Dirilis Mediaindonesia, pemerintah telah menetapkan cengkih dan tembakau sebagai komoditas strategis nasional dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014. Tembakau dan cengkih mampu menyerap 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani, pekerja pabrik, dan pekerja industri kreatif. Oleh karena itu, Budidoyo, ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia mengharapkan agar pemerintah membantu industri tembakau yang memiliki dampak besar bagi ekonomi rakyat.
Pemerintah juga sudah menerapkan aturan Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dengan PMK 215/PMK. 07/2021. Dalam peraturan itu, 50 persen Dana Bagi Hasil Cukai Hasil tembakau digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, 10 persen untuk penegakan hukum, dan 40 persen untuk sektor kesehatan. Artinya, cukai hasil tembakau digunakan untuk kesejahteraan petani dan masyarakat luas.
Sentra-Sentra SKT di Indonesia
Saat ini sentra-sentra SKT di penjuru Indonesia mendukung perekonomian daerah dan nasional. Sentra-sentra tersebut tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.
Fenomena menarik tersaji dalam peran SKT bagi kesejahteraan pekerja pabrik SKT, antara lain di DI Yogyakarta. Di DIY terdapat tujuh pabrik SKT yang mempekerjakan 5.200 orang.
Terbaru, sebuah produsen rokok ternama membuka pabrik SKT di Blitar yang akan menyerap 3.000 tenaga kerja lokal. Pabrik SKT tidak menuntut keterampilan tinggi sehingga masyarakat luas dapat dengan cukup mudah bekerja di sektor SKT ini. Industri SKT mampu menggaji pekerja dengan gaji sesuai Upah Minimum Regional. Hal ini belum tentu dapat dilakukan sektor industri lainnya di tengah kendala pertumbuhan ekonomi saat ini.
Jumlah pekerja yang terlibat dalam industri tembakau dibagi menjadi kategori petani dan pekerja di industri pengolahan. Jumlah petani komoditas tembakau sebanyak 485 ribu orang orang atau 1,2% dari total angkatan kerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan (Nasim & Gunawijaya 2021).
Selain itu, industri SKT juga mempekerjakan saudara-saudari disabilitas yang seringkali sulit mendapatkan akses pekerjaan yang layak. Kita tidak bisa menutup mata akan peran positif SKT dalam hal peningkatan kesejahteraan kaum disabilitas di Indonesia.
Ibu Hartini, Potret Pekerja Sektor Tembakau
Ibu Hartini, warga Kota Yogyakarta, telah lebih dari tiga puluh tahun tahun bekerja di industri tembakau yang ikut menghidupi keluarganya. Ibu dari seorang putera ini mengaku, penghasilan dari pekerjaannya selama ini dapat menopang perekonomian keluarga.
"Syukurlah, penghasilan yang saya terima sesuai UMR. Ini menambah kesejahteraan dalam kehidupan keluarga kami," ungkapnya dalam wawancara dengan penulis.
Menariknya, dalam perjalanan kariernya Ibu Hartini mengalami kenaikan jabatan dan kini bekerja sebagai kepala unit. Ini menjadi bukti bahwa pekerjaan di sektor tembakau juga mengakomodasi peluang peningkatan karier bagi yang memiliki kompetensi yang sesuai.
Wasana kata, secara jujur kita menyadari bahwa industri tembakau bak buah simalakama. Gagasan untuk mengatur dampak kesehatan produk tembakau perlu diimbangi dengan gagasan mengatur industri tembakau, termasuk SKT.
Kita tak bisa mengabaikan nasib dan kesejahteraan para (wanita) pelinting SKT yang berada di balik viralnya serial "Gadis Kretek". Solusi harus berkeadilan bagi kesehatan maupun perekonomian. Semoga!
Bobby Steven (Ruang Berbagi)
NB: Tulisan ini adalah ulasan ilmiah populer. Penulis bukan perokok dan tidak bermaksud mendorong pembaca untuk merokok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H