Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Putusan MK di Mata Penyintas Tragedi Politik dan Kaum Muda Energik

23 Juli 2023   23:31 Diperbarui: 23 Juli 2023   23:32 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Putusan MK di Mata Penyintas Tragedi Politik dan Kaum Muda Energik - Dokpri Dialita Choir atas izin Utjikowati

 

Dua dasawarsa Mahkamah Konstitusi sungguh patut menjadi momen untuk merenungkan kembali kontribusi MK bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita jelang perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-78 tahun ini.

Tema “20 Tahun MK: Catatan dan Harapan Publik" menjadi kaca benggala bagi kita, anak bangsa, dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia tercinta sepanjang eksistensinya.

Jose H. Choper dalam Judicial Review and the National Political Process: A Functional Reconsideration (1980) mengemukakan gagasan mengenai pentingnya keberadaan lembaga negara yang menegakkan mekanisme judicial review.

Selaras dengan gagasan itulah, Mahkamah Konstitusi di Indonesia menjalankan fungsi judicial review yang di banyak negara menjadi mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional (I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, 2008).

Logo Mahkamah Konstitusi dan Toga Hakim MK - dokpri olahan dari situs mkri.id/canva.
Logo Mahkamah Konstitusi dan Toga Hakim MK - dokpri olahan dari situs mkri.id/canva.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) merupakan lembaga peradilan yang berfungsi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung (MA). MK dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 9 November 2001. Uniknya, Indonesia adalah negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi.

Empat Kewenangan MK - dokpri olahan dari Canva
Empat Kewenangan MK - dokpri olahan dari Canva

Secercah Asa bagi Penyintas Tragedi Politik 1965

Setiap bangsa besar harus melewati masa kelam untuk meraih masa cemerlang. Negeri kita tercinta Indonesia pun demikian.

Perjalanan bangsa kita yang sebentar lagi merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-78 memang penuh warna. Ada tawa dan tangis. Ada pula para penyintas masa kelam bangsa. Salah satunya adalah para eks anggota PKI.

Penulis beruntung karena boleh mengenal Ibu Utji. Adalah Antonius Sumarwan, penulis Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiiasi (2007) dan pemerhati para penyintas tragedi politik 1965 yang menghubungkan saya dengan Ibu Utji.

Nama lengkap Ibu Utji adalah Utjikowati. Puan paramarta berhati mulia ini lahir pada 1952. Utji, panggilan akrabnya, adalah generasi kedua eks penyintas tragedi politik 1965.

Ketika ditanya apa perasaan dia ketika tidak mendapatkan kesempatan untuk memilih dalam Pemilu Tahun 1971, Utji menjawab, “Saya berusia 19 tahun. Saya merasa berbeda atau dibedakan bahwa saya tidak diizinkan ikut pemilu. Waktu itu saya sadar bahwa hak politik pertama saya sebagai WNI dirampas”.

Sketsa Utjikowati - dokpri Utjikowati penyintas tragedi politik 1965
Sketsa Utjikowati - dokpri Utjikowati penyintas tragedi politik 1965

Selama puluhan tahun, para penyintas tragedi politik 1965 mengalami represi, juga dalam perampasan hak-hak politik. Syukurlah, pada 24 Februari 2003, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.  Pasal itu menghalangi anak bangsa yang selama ini dicap pernah terlibat pemberontakan pada era 1965 untuk memilih dan dipilih.

Ketika ditanya mengenai kesan dia setelah adanya putusan MK tersebut, Utji mengatakan, "Putusan MK itu bisa disebut sebagai kemenangan kecil perjuangan kami, para eks tahanan politik (tapol) yang telah lama menuntut pengembalian hak politik kami".

Hingga saat ini, Utji aktif dalam Paduan Suara Dialita. “Saya bersama kawan-kawan penyintas 65 mendirikan Paduan Suara Dialita. Konser pertama kami di bawah Beringin Sukarno di kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kami menyanyikan lagu-lagu yang dibuat para tapol di dalam penjara,” tuturnya. 

Dialita adalah paduan suara yang terdiri dari wanita yang orang tua, kerabat, dan temannya ditangkap, disiksa, dan diasingkan selama tragedi politik 1965/1966 di Indonesia.


Paduan suara Dialita ini bertujuan untuk menyembuhkan masa lalu yang traumatis, sebagai jalan untuk mendamaikan jiwa sebuah negara yang pernah tercabik-cabik oleh ideologi politik. Dialita didirikan pada tahun 2011. Hingga tahun 2020 lalu, paduan suara ini telah tampil sebanyak 77 kali di berbagai tempat untuk berbagai kalangan.

Generasi Muda Energik Komentari Putusan MK 

Penulis mewawancarai sejumlah perwakilan generasi muda nan energik guna menjaring opini mengenai kiprah dan putusan Mahkamah Konstitusi bagi mereka.

Giovani (32) yang saat ini berdomisili di Kabupaten Banyuasin mengemukakan bahwa ia mengapresiasi putusan MK terkait sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka.

Ketua MK Anwar Usman pada Kamis (15/6/2023) menyampaikan bahwa MK menolak gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu alasan pokok penolakan adalah bahwa para hakim konstitusi menganggap gugatan tidak beralasan menurut hukum.

Sesuai hasil sidang MK tersebut, sistem Pemilu 2024 akan tetap dilaksanakan secara proporsional terbuka atau coblos caleg (calon legislatif).

Menurut Giovani, pemuda asal Sumatra Selatan, berkat putusan MK ini masyarakat dapat memilih langsung calon pilihannya. Tidak ada lagi peluang bagi partai untuk “memilihkan kucing dalam karung” dalam sistem tertutup. Transparansi Pemilu menjadi lebih terjamin.

Giovani juga mengusulkan agar MK banyak membuat lomba karya ilmiah tentang konstitusi bagi para mahasiswa dan kaum muda harapan bangsa.

Sementara itu, Fatkhur Rahman (33) mendukung putusan MK yang mempermudah bolehkan pemilih di luar DPT untuk mencoblos asal dapat menunjukkan dokumen kependudukan (elektronik) yang sah.

Kita tahu bahwa MK telah melakukan sidang putusan uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 210 Ayat (1) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Waktu itu para hakim MK memutuskan bahwa pemilih yang ingin pindah memilih dapat mengajukan prosedur pindah memilih paling lambat tujuh hari sebelum pencoblosan.

“Putusan MK ini menjamin pelaksanaan hak memilih dalam Pemilu bagi para pemilih yang karena situasi tertentu tidak bisa memilih di daerah domisili asalnya,” kata Fatkhur yang berprofesi sebagai penerjemah di Kota Pelajar Yogyakarta. Ia berharap agar MK semakin kokoh menegakkan konstitusi.

Apresiasi Putusan MK terkait Perjanjian Internasional

Anna Anindita (27), pengajar hukum internasional, mengapresiasi putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Menurut Anna Anindita, putusan MK ini menguji UU Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 yang membatasi batas lingkup terikatnya Indonesia terhadap perjanjian internasional dalam bentuk UU. Setelah ada putusan MK ini, bidang menjadi tidak terbatas dan bisa sejalan dengan UUD 1945.

Dalam UU Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 dikatakan bahwa yang perlu persetujuan DPR apabila ada perjanjian internasional (kesepakatan internasional) terbatas pada bidang: 1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3) kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4)  hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5) pembentukan kaidah hukum baru, dan 6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Akan tetapi, sejak adanya putusan tersebut, MK memutuskan bahwa jangan hanya terbatas pada bidang-bidang tersebut, namun harus sejalan dengan UUD 1945 yaitu: menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.

“Kesimpulannya, kalau ada kesepakatan internasional yang menimbulkan akibat luas mendasar dan jadi beban keuangan negara, harus ada persetujuan DPR dan dibuat UU,” papar Anindita yang mengajar di sebuah universitas di Bandung.

Wasana Kata

Dialita dalam "Lagu untuk Anakku" bersenandung, "Lihatlah pagi cerah dunia, anakku. Lihatlah mawar merah merekah, sayangku/Secerah pagi indah hari depanmu/Semerah mawar rekah harapanku."

Kiprah Mahkamah Konstitusi selama dua dasawarsa bak mawar merah merekah. Mawar itu membawa secercah asa di ujung lorong gelap bagi Utji dan para penyintas tragedi politik. Mawar itu juga mewangi di hati sanubari para kawula muda energik harapan negeri. 

Semoga Mahkamah Konstitusi semakin menjadi lembaga kredibel yang berkontribusi positif dalam mengawal konstitusi. 

Selaras dengan Mars Mahkamah Konstitusi, "Marilah kita bersama menjaga konstitusi negara dengan sebaik-baiknya. Marilah kita bersama tegakkan konstitusi negara. Pancasila ideologi bangsa. Konstitusi supremasi hukum. Memancarkan keadilan sesuai harapan bangsa. Jayalah Mahkamah Konstitusi!" 

Bobby Steven (Ruang Berbagi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun