Â
Gelaran Piala Dunia di Qatar menjadi tonggak bersejarah. Untuk pertama kalinya, Jazirah Arab menjadi tuan rumah ajang bal-balan mondial. Qatar seolah menjadi mercusuar baru.
Negeri mungil dengan hanya 2,8 juta warga ini membuktikan bahwa sebuah negara Arabia pun mampu mementaskan Piala Dunia. Tak harus negara Eropa atau Amerika.
Akan tetapi, rupanya tak semua orang bahagia. Ada yang tak mau nonton Piala Dunia Qatar 2022 karena alasan etika. Lho, kok bisa?
Qatar dipilih menjadi tuan rumah dalam sebuah keputusan kontroversial pada tahun 2010. Sejak semula sudah muncul banyak keberatan. Mulai dari kesulitan menyelenggarakan acara olahraga di negara di mana suhu musim panas biasanya mencapai 100 derajat sampai tuduhan suap dan korupsi di kalangan pejabat FIFA yang memilih Qatar.
 Lebih lagi, ada banyak bukti kuat mengenai terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap para pekerja proyek Piala Dunia Qatar 2022.
 Pada 2020 jaksa AS menyimpulkan, pejabat FIFA (badan sepak bola dunia) disuap sebelum pemungutan suara untuk mendukung Qatar.
Kesimpulan itu dicapai setelah penyelidikan yang panjang. Dalam dokumen penyelidikan setebal 70 halaman, dikatakan bahwa sejumlah mantan anggota komite eksekutif FIFA menerima suap sehubungan dengan suara voting mereka.
Jaksa Amerika Serikat mengatakan, mereka memiliki bukti " penyuapan dalam sepak bola internasional" yang mereka klaim, "telah mengakar dan praktik umum selama beberapa dekade." Tuduhan korupsi juga dilontarkan pada sebuah perusahaan pemasaran olahraga dan tiga eksekutif media.
Nicolas Leoz, mantan presiden badan sepak bola Amerika Selatan, Conmebol, dan mantan petinggi Federasi Brasil Ricardo Teixeir k dituduh menerima uang "sebagai imbalan atas suara mereka mendukung Qatar untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022."
Secara ganjil, Qatar berhasil mengalahkan AS sebagai calon tuan rumah Piala Dunia 2022.
Terbaru, bahkan mantan ketua FIFA Sepp Blater menyebut pemilihan Qatar sebagai sebuah kesalahan.
"Itu pilihan yang buruk. Saya bertanggung jawab untuk itu sebagai presiden saat itu," kata Sepp Blatter, yang masa jabatannya sebagai administrator FIFA berakhir pada 2015 di tengah skandal suap.
Terbaru, Human Rights Watch merilis video sebelum Piala Dunia dimulai pada 20 November 2022. Para pekerja dan keluarga mereka serta penggemar sepak bola dari Nepal angkat bicara guna membeberkan pengalaman buruk sebagai pekerja proyek Piala Dunia Qatar 2022.
Majikan dan perekrut di Qatar dapat menyalahgunakan dan mengeksploitasi kemiskinan pekerja migran dan kurangnya kesempatan di negara mereka sendiri, di bawah sistem kafala (sponsor), yang memberi majikan kontrol yang tidak proporsional atas pekerja, kata Human Rights Watch.
Di Qatar, salah satu negara terkaya di dunia, pekerja migran hidup dalam kondisi miskin di akomodasi yang penuh sesak. Meskipun membangun infrastruktur canggih bernilai miliaran, mayoritas pekerja migran bergaji rendah demi Piala Dunia Qatar 2022.
Banyak pekerja yang meninggal di Qatar sebelumnya masih dalam keadaan sehat sebelum tetiba dikabarkan meninggal tanpa alasan yang jelas. Keluarga para pekerja itu tidak mengetahui apa yang sebenarnya menimpa kerabat mereka di Qatar.
Qatar memang sangat ngebut membangun tujuh stadion baru dan merenovasi satu stadion sebagai arena Piala Dunia 2022.
Saat memenangkan seleksi pada 2010, Qatar kekurangan banyak stadion, hotel, dan jalan raya yang dibutuhkan untuk menggelar turnamen. Untuk membangunnya, Qatar mengandalkan para pekerja migran yang merupakan 90% atau lebih dari angkatan kerjanya.
Hanya sekitar 300.000 penduduk Qatar yang merupakan warga negara Qatar. Jauh melebihi jumlah mereka adalah para pekerja migran yang visanya terikat dengan pekerjaan mereka, sebuah sistem yang umum di Timur Tengah.
Qatar telah membantah segala tuduhan itu. Bahkan ada pejabat Qatar yang menuduh bahwa semua itu hanyalah pepesan kosong negara-negara Barat yang kecewa karena Qatar terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Kondisi kerja dan kehidupan para pekerja migran untuk proyek Piala Dunia seringkali eksploitatif dan berbahaya. Investigasi pada 2021 oleh Guardian menemukan bahwa lebih dari 6.500 pekerja migran dari lima negara Asia Selatan telah meninggal di Qatar sejak 2010 karena kecelakaan di tempat kerja, kecelakaan mobil, bunuh diri, dan kematian akibat penyebab lain, termasuk hawa panas ekstrem.
FIFA dan Qatar saling berbantah soal angka kematian pekerja Piala Dunia 2022 itu. Qatar mengatakan bahwa hanya tiga orang yang tewas sebagai akibat langsung dari pekerjaan di lokasi konstruksi Piala Dunia, dan mengakui kematian 37 pekerja sebagai "tidak terkait dengan proyek Piala Dunia".
Beberapa kalangan secara terbuka telah memprotes dan bahkan memboikot Piala Dunia Qatar 2022.
Musisi Inggris, Rod Stewart, mengatakan kepada The Sunday Times bahwa dia ditawari cek satu juta dolar untuk tampil di Qatar. Akan tetapi, ia menolaknya karena alasan etis.
Bahkan sejumlah kalangan juga mengkritik duta besar untuk memuluskan langkah Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, David Beckham. Mantan pemain Manchester United dan timnas Inggris itu dikabarkan menerima 10 juta dolar AS untuk perannya itu.
Tentunya boikot yang paling signifikan dilancarkan oleh sejumlah nama besar dan kelompok suporter besar sepak bola dunia.
 Salah satunya adalah Philipp Lahm, mantan pemain Jerman yang menjadi kapten negaranya saat merebut gelar Piala Dunia di Brasil delapan tahun lalu. Baru-baru ini Lahm mengatakan bahwa dia tidak akan pergi ke Qatar sebagai bagian dari delegasi resmi atau sebagai penonton.
"Hak asasi manusia harus memainkan peran penting dalam mendukung turnamen. Jika sebuah negara yang kurang berhasil di bidang itu mendapatkan penghargaan (menjadi tuan rumah), maka Anda harus memikirkan kriteria apa yang menjadi dasar keputusan itu, " kata Lahm kepada Kantor Pers Jerman dpa.
Sementara itu, sejumlah kelompok suporter memboikot Piala Dunia Qatar. Di antara mereka adalah kelompok suporter Bundesliga Jerman dan Ligue 1 Perancis.
Di Jerman, penggemar di seluruh Bundesliga telah menampilkan spanduk berisi anjuran boikot. Banyak otoritas lokal di seluruh Prancis, termasuk di Paris, Marseille dan Strasbourg, menolak untuk menyiarkan Piala Dunia Qatar di tempat umum atau mendirikan zona penggemar.
Bahkan beberapa pemain dan mantan pemain mengatakan mereka tidak akan menonton, termasuk Eric Cantona dan Lotte Wubben-Moy, pemenang Euro 2022 bersama Timnas Wanita Inggris.
Nah, bagaimana dengan kita? Apakah ikhlas tak nonton Piala Dunia Qatar 2022 karena alasan etika?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H