Masyarakat Indonesia mendesak sejumlah pejabat untuk mundur setelah tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Meninggalnya ratusan orang dalam tragedi itu menjadi alasan sahih desakan warga terhadap sejumlah pejabat yang dianggap tidak mampu menjalankan amanat.
Akan tetapi, hingga detik ini pun, tak seorang pun pejabat Indonesia mengundurkan diri pascatragedi Kanjuruhan. Mengapa demikian? Di sisi lain, di Jepang para pejabat sangat sering mengundurkan diri.Â
Pertanyaan kritis kita, mengapa pejabat Jepang sering mengundurkan diri sedangkan pejabat Indonesia tidak? Apa saja alasan mengapa para pejabat Jepang sering mengundurkan diri? Mengapa pejabat Indonesia tidak atau belum memiliki budaya serupa?
Alasan di balik seringnya pejabat Jepang mengundurkan diri
Pertama, budaya malu
Di Jepang, ada budaya malu kala seseorang gagal menjalankan fungsinya sebagai pejabat atau atasan. Bahkan ketika kesalahan itu dilakukan anak buah, para pejabat dan petinggi Jepang menganggap hal itu sebagai tanggung jawab moral mereka.
Logika orang Jepang sangat sederhana. Jika anak buah salah, bosnya yang ikut bertanggung jawab karena bos bertugas mengawasi kerja anak buah. Bos atau pejabat tinggi tidak bisa dengan mudah cuci tangan dari kesalahan anak buah di lapangan.
Kedua, sistem politik yang rentan dan mengandalkan kepercayaan publik
Seringnya perdana menteri Jepang mengundurkan diri juga disebabkan sistem politik yang rentan dan mengandalkan kepercayaan publik.Â
Menurut David Cannon, partai dominan di Jepang adalah Partai Demokrat Liberal, yang telah memerintah Jepang sejak 1955. Partai ini sebenarnya merupakan koalisi dari beberapa faksi.Â
Setiap faksi praktis adalah sebuah partai di dalam sebuah partai; masing-masing memiliki organisasinya sendiri, sumber dananya sendiri, dan kepemimpinannya sendiri. Kadang-kadang faksi yang berbeda bahkan telah mencalonkan calon yang berbeda untuk kursi Parlemen.
Artinya, hampir tidak ada perdana menteri yang mampu mempertahankan loyalitas partai secara keseluruhan untuk waktu yang lama. Sistem ketatanegaraan Jepang adalah Parlementer, bukan Presidensial, yang berarti Perdana Menteri hanya dapat tetap menjabat sambil dapat mengandalkan dukungan mayoritas di Diet (Parlemen).Â
Dengan partai yang berkuasa dibagi menjadi faksi-faksi, semua dipimpin oleh tokoh-tokoh kuat yang semuanya menginginkan "giliran" mereka di puncak.
Sangat jarang seorang Perdana Menteri Jepang bertahan lebih dari dua tahun. PM Nakasone menjabat lima tahun, PM Satoo tujuh tahun dan Abe delapan tahun.Â
Kasus-kasus luar biasa ini berhasil membuat faksi-faksi yang bersaing melawan satu sama lain lebih lama dari biasanya. Meskipun demikian, biasanya jarang ada PM Jepang yang mengakui bahwa mereka kehilangan dukungan partai. PM Abe, misalnya, sempat mengatakan dia mengundurkan diri karena alasan "kesehatan".
Akan tetapi, alasan "kesehatan", dalam bahasa Jepang, adalah eufemisme yang terkenal untuk "kurangnya dukungan partai".
Di Jepang, kala seorang pejabat kehilangan kepercayaan publik secara drastis, hampir dipastikan ia akan sadar diri dan mengundurkan diri dari jabatannya.
Mengapa pejabat Indonesia "malas" mengundurkan diri meski gagal?
Pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa sebagian besar pejabat Indonesia "malas" mengundurkan diri meski gagal? Ada dua alasan:
Pertama, kurangnya atau tiadanya budaya malu
Jujur, budaya malu belum menjadi budaya (sebagian besar pejabat) kita. Yang sering terjadi, sebagian besar pejabat kita yang gagal justru menyalahkan anak buah atau pihak lain.Â
Padahal, jika anak buah bersalah, pimpinan atau pejabat juga ikut andil di dalam kesalahan itu. Tugas pejabat adalah membangun sistem pencegahan kekeliruan kerja, pelaksanaan kerja, dan evaluasi kerja anak buah.Â
Kesalahan anak buah di lapangan secara moral adalah juga kesalahan pejabat tinggi yang lalai menjalankan fungsi antisipatif dan evaluatifnya.Â
Kedua, lemahnya porsi kepuasan publik dalam proses evaluasi kerja pejabat di Indonesia
Sebagian pejabat Indonesia merasa aman karena memang porsi kriteria kepuasan publik dalam proses evaluasi kerja pejabat Indonesia sangatlah lemah.Â
Sangat jarang sebuah jabatan dinilai dari survei serius mengenai kepuasan publik terhadap kinerja pejabat yang bersangkutan. Kinerja pejabat tinggi di Indonesia seringkali dinilai oleh kalangan elitis saja dan tidak melibatkan penilaian jujur dari publik secara terukur dan berkala.
Padahal, kita memiliki lembaga-lembaga dan instrumen survei kepuasan publik yang bisa dilibatkan. Juga banyak LSM dan aktivis yang sangat bisa memberikan masukan untuk evaluasi pejabat di Indonesia tercinta ini.Â
Reformasi birokrasi seharusnya memuat juga partisipasi publik dalam menilai kinerja pejabat-pejabat tinggi di segala lini, mulai dari pemerintahan sampai lembaga olahraga.
Sistem rekrutmen dan evaluasi pejabat tinggi yang elitis dan tertutup cenderung menghasilkan pejabat-pejabat yang minim kompetensi dan minim empati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H