Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Imaji dalam Puisi Bermakna Kaya, Apresiasi Karya Fatmi Sunarya

3 Maret 2022   13:57 Diperbarui: 3 Maret 2022   14:09 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjamuan puisi di Kompasiana ini demikian marak. Ada banyak pemuisi dengan idealisme dan gaya khas masing-masing. Ada pula penikmat puisi dengan harapan dan latar belakang masing-masing. 

Salah satu puan pemuisi di Kompasiana, Ibu Fatmi Sunarya menyambut baik undangan Ruang Berbagi untuk bedah karya. Bedah karya ini sejatinya sebuah silaturahmi sekaligus wahana untuk saling belajar meningkatkan mutu karya.

Kali ini kita akan mengulik salah satu karya puisi Ibu Fatmi Sunarya dengan tajuk "Naif". Mari kita soroti imaji dalam puisi bermakna kaya, khas Ibu Fatmi Sunarya dalam puisi ini.

Bedah bait pertama

Tentang hati
Tentang waktu yang berlari
Tergenggam dua hal yang paling berharga
Tak pernah kering sebuah telaga
Seperti air sungai mengalir deras ke muara
Segala rasa membumbung tinggi di nirwana
Penuh, dengan sepenuh hati dan hari
Adakah yang lebih dari kebaikan hati?
Semoga tidak terbuang sia-sia
Semua berpulang kepada sang pencipta

Dua baris pertama memuat pararelisme: tentang hati//tentang waktu. Pararelisme ini dipertegas dengan baris ketiga: tergenggam dua hal yang paling berharga. Ini adalah contoh kepaduan gagasan dalam puisi. Tidak semua pemuisi mampu memadukan satu gagasan secara padat seperti Bu Fatmi. 

Pemuisi tentu ingin menumpahkan isi hati secara bebas, namun sebaiknya jangan lupa menata secara artistik dalam baris-baris dan bait yang apik. 

Justru keindahan puisi akan tampak ketika pemuisi juga secara sadar menata keanggunan karyanya dengan majas, imaji, dan diksi. 

Baris-baris berikutnya memuat imaji atau dalam bahasa Inggris, imagery. Menurut kamus Oxford, imagery adalah visually descriptive or figurative language, especially in a literary work. 

Imaji adalah bahasa visual atau figuratif, khususnya dalam karya tulis.

Dalam bait pertama ini, imaji yang digunakan adalah tentang air. Ada telaga dan air sungai mengalir ke muara.

Baris selanjutnya memuat diksi berima. Perhatikan baik-baik: "dengan sepenuh hati dan hari." Rima ada pada "ha" dan juga akhiran -i. 

Ini keterampilan berpuisi yang perlu kita asah dengan menambah kosakata dan jam terbang menulis. Jika Anda punya banyak perbendaharaan kosakata, akan mudah menemukan kata-kata berima seperti ini. Ada yang bisa memberi contoh spontan?

Contoh lain adalah "piawai" dan "pawai"; "palang" dan "pasang"; "matra" dan "mata". 

Kebetulan, gaya berpuisi Bu Fatmi sejauh ini memang menganut pakem rima. Bukan puisi gaya baru yang cenderung lebih bebas dari padu-padan rima. Bagi saya, menulis puisi dengan rima itu sangat mengasyikkan karena justru lebih sulit daripada puisi gaya baru. 

Akan tetapi, selera berpuisi pembaca dan redaktur bisa berbeda. Unsur subjektivitas juga bermain di sini. Ada yang lebih suka rima, ada yang lebih suka kebebasan. Ibarat makan bubur, ada yang suka bubur diaduk ada yang tidak. Hehe. 

Bedah bait kedua

Walau dunia kencang menggilas waktu
Selalu ada dalam ruang tunggu
Menunggu kereta kencana menuju sebuah pesta
Dunia khayal sang putri tak bermahkota
Kebaikan hati selalu tumbuh menjamur
Walau musim kemarau menahan subur
Karna hanya itu bisa kupeluk erat
Dalam jiwa dan raga saling mengikat
Jika hilang kebaikan hati
Menghilang pula kebaikan diri

Lagi-lagi Bu Fatmi menggunakan imaji yang apik. Coba perhatikan ada berapa imaji dalam bait kedua ini. Saya menemukan, antara lain: kereta kencana, putri bermahkota, dan musim kemarau. 

Pemuisi memang lazimnya piawai membuat rangkaian imaji agar pembaca membayangkan apa yang ada di benak pemuisi. Inilah salah satu perbedaan kalimat puisi dan prosa atau berita. 

Kalimat berita: Saya menunggu ibu yang dirawat di rumah sakit.

Kalimat puitis: "Terhanyut aku dalam detik waktu dan detak jantung ibu di bangsal itu"

Memang benar, saat ini orang bisa mengeklaim bahwa puisi tidak harus puitis seperti puisi old school. Akan tetapi, bagi saya sendiri, ada yang kurang ketika puisi minim penggayaan susastra. 

Dalam KBBI, ditakrifkan bahwa susastra adalah "karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai saranya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi".

Tidak perlu takut berpuisi. KBBI tentu tidak bertujuan mengharuskan pemuisi mencapai syarat estetika yang tinggi. Ingat, ada pula puisi mbeling yang di luar "kaidah standar" berpuisi. 

Hanya saja, pada hemat saya, saya sebagai pemuisi amatir harus perlu rendah hati menambah perbendaharaan kosakata dan keterampilan menaja baris dan bait puisi agar karya saya lebih estetik. 

Estetik bagi saya mungkin beda bagi Anda. Tidak apa-apa. Gudeg Jogja adalah makanan terenak menurut saya. Soalnya, manis seperti saya ^_^. Anda yang tidak suka manis tentu punya selera lain. 

Masukan untuk Ibu Fatmi

Tentu tidak adil bila saya hanya memuji Bu Fatmi setinggi langit. Harus ada kritik pedas level dewa! Karena itu, ini masukan untuk Bu Fatmi. 

Adinda saya baru-baru ini mengakui, puisi-puisinya belum memenuhi standar kelas atas perpuisian nasional. "Mas, puisi yang keren itu ada cerita tokohnya. Jadi bukan puisi biasa saja."

Saya paham, tentu kualitas puisi para pemuisi kaliber nasional berbeda dengan puisi receh karya saya atau adik saya. Akan tetapi, tidak ada salahnya kita mempelajari puisi-puisi para suhu. 

Puisi yang bertema unik, bernilai sejarah, keluar dari kotak, dan membuat pembacanya terngiang-ngiang sampai lupa mantan. Eh, lupa makan. 

Saya dan Bu Fatmi bisa berkaca diri: apakah puisi-puisiku suatu hari nanti bisa membuat orang mabuk kepayang? Maksudnya, membekas di benak karena mengubah paradigma berperilaku dan mengusik nurani. 

Semoga. Terima kasih, Bu Fatmi, atas kerelaan untuk dioperasi Ruang Berbagi, yang seperti Bu Fatmi, bukan pujangga. 

Bu Fatmi setakat ini telah menulis 1.127 karya fiksi dan nonfiksi di Kompasiana, dengan 23 berlabel Artikel Utama/AU. Teladan istimewa dalam kesetiaan berkarya. Akun Bu Fatmi klik di sini. 

Puisi karya hamba antara lain Pengkhotbah dan Pencopet pada Sebuah Kereta. Karya terbaru dimuat akun KPB dengan tajuk Cinta Tabu Bertunas di Dua Sisi Kali Brantas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun