Dalam bait pertama ini, imaji yang digunakan adalah tentang air. Ada telaga dan air sungai mengalir ke muara.
Baris selanjutnya memuat diksi berima. Perhatikan baik-baik: "dengan sepenuh hati dan hari." Rima ada pada "ha" dan juga akhiran -i.Â
Ini keterampilan berpuisi yang perlu kita asah dengan menambah kosakata dan jam terbang menulis. Jika Anda punya banyak perbendaharaan kosakata, akan mudah menemukan kata-kata berima seperti ini. Ada yang bisa memberi contoh spontan?
Contoh lain adalah "piawai" dan "pawai"; "palang" dan "pasang"; "matra" dan "mata".Â
Kebetulan, gaya berpuisi Bu Fatmi sejauh ini memang menganut pakem rima. Bukan puisi gaya baru yang cenderung lebih bebas dari padu-padan rima. Bagi saya, menulis puisi dengan rima itu sangat mengasyikkan karena justru lebih sulit daripada puisi gaya baru.Â
Akan tetapi, selera berpuisi pembaca dan redaktur bisa berbeda. Unsur subjektivitas juga bermain di sini. Ada yang lebih suka rima, ada yang lebih suka kebebasan. Ibarat makan bubur, ada yang suka bubur diaduk ada yang tidak. Hehe.Â
Bedah bait kedua
Walau dunia kencang menggilas waktu
Selalu ada dalam ruang tunggu
Menunggu kereta kencana menuju sebuah pesta
Dunia khayal sang putri tak bermahkota
Kebaikan hati selalu tumbuh menjamur
Walau musim kemarau menahan subur
Karna hanya itu bisa kupeluk erat
Dalam jiwa dan raga saling mengikat
Jika hilang kebaikan hati
Menghilang pula kebaikan diri
Lagi-lagi Bu Fatmi menggunakan imaji yang apik. Coba perhatikan ada berapa imaji dalam bait kedua ini. Saya menemukan, antara lain: kereta kencana, putri bermahkota, dan musim kemarau.Â
Pemuisi memang lazimnya piawai membuat rangkaian imaji agar pembaca membayangkan apa yang ada di benak pemuisi. Inilah salah satu perbedaan kalimat puisi dan prosa atau berita.Â
Kalimat berita: Saya menunggu ibu yang dirawat di rumah sakit.