Kalimat puitis: "Terhanyut aku dalam detik waktu dan detak jantung ibu di bangsal itu"
Memang benar, saat ini orang bisa mengeklaim bahwa puisi tidak harus puitis seperti puisi old school. Akan tetapi, bagi saya sendiri, ada yang kurang ketika puisi minim penggayaan susastra.Â
Dalam KBBI, ditakrifkan bahwa susastra adalah "karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai saranya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi".
Tidak perlu takut berpuisi. KBBI tentu tidak bertujuan mengharuskan pemuisi mencapai syarat estetika yang tinggi. Ingat, ada pula puisi mbeling yang di luar "kaidah standar" berpuisi.Â
Hanya saja, pada hemat saya, saya sebagai pemuisi amatir harus perlu rendah hati menambah perbendaharaan kosakata dan keterampilan menaja baris dan bait puisi agar karya saya lebih estetik.Â
Estetik bagi saya mungkin beda bagi Anda. Tidak apa-apa. Gudeg Jogja adalah makanan terenak menurut saya. Soalnya, manis seperti saya ^_^. Anda yang tidak suka manis tentu punya selera lain.Â
Masukan untuk Ibu Fatmi
Tentu tidak adil bila saya hanya memuji Bu Fatmi setinggi langit. Harus ada kritik pedas level dewa! Karena itu, ini masukan untuk Bu Fatmi.Â
Adinda saya baru-baru ini mengakui, puisi-puisinya belum memenuhi standar kelas atas perpuisian nasional. "Mas, puisi yang keren itu ada cerita tokohnya. Jadi bukan puisi biasa saja."
Saya paham, tentu kualitas puisi para pemuisi kaliber nasional berbeda dengan puisi receh karya saya atau adik saya. Akan tetapi, tidak ada salahnya kita mempelajari puisi-puisi para suhu.Â
Puisi yang bertema unik, bernilai sejarah, keluar dari kotak, dan membuat pembacanya terngiang-ngiang sampai lupa mantan. Eh, lupa makan.Â