Sebutan makanan dengan dialek Hokkian yang kemudian diadaptasi dalam bahasa Indonesia antara lain: kwetiau, bihun, misoa, bakmi, bakcang, lumpia, dan sampai kecap. Kecap berasal dari kata bahasa Hokkian ‘gui cap’.
Soto konon adalah hasil perpaduan kuliner China dengan kuliner bangsa-bangsa lain dan masyarakat lokal Nusantara. Denys Lombard dalam bukunya Le Carrefour Javanais mengemukakan bahwa asal usul soto adalah sup Cina, caudo (Pinyin: tshau-too; harfiahnya "babat"). Soto populer di Semarang di kalangan imigran Tionghoa pada masa kolonial VOC, sekitar abad ke-17.
Pengaruh unsur bahasa-bahasa Tionghoa dalam bahasa-bahasa Nusantara
Ada beragam dialek Tionghoa yang memengaruhi bahasa Indonesia dan aneka bahasa daerah Nusantara. Panggilan dialektal Betawi gua, misalnya, berasal dari dialek Hokkien 'goa' (aku).Â
Gincu, guci, kepang, kongkalikong, kongsi, kuaci, kuah, lihai, lonceng, sampan, sate, sumpit, teh, tukang, toko, tongkang adalah sejumlah kata yang diserap dari beragam dialek Tionghoa.Â
Mungkin kita ber-DNA Tionghoa
Selama ini kita dikotak-kotakkan dengan label pribumi dan non-pribumi. Padahal secara genetik, tidak ada orang pribumi yang sungguh asli Indonesia.
Hal ini antara lain disebabkan karena sejak masa prasejarah, Nusantara adalah tempat bertemunya aneka suku bangsa.Â
Pada 2019 lalu, majalah Historia mempublikasikan hasil tes DNA dengan 16 responden acak orang Indonesia dalam Proyek DNA Penelusuran Leluhur Orang Indonesia Asli.
Hasilnya, tidak ada yang dinamakan manusia pribumi atau asli Indonesia.Â
Deputi Fundamental Eijkman Institute Prof Dr Herawati Aru Sudoyo kala itu menyatakan, "Kalau pribumi harusnya 100 persen Indonesia. Tapi hasilnya, dari 16 responden semuanya bercampur (asal moyangnya), tidak ada yang 100 persen Indonesia. Jadi tidak ada yang bisa mengklaim pribumi asli."