Kita terbiasa dengan pernyataan "Bola itu bundar". Kejutan selalu bisa terjadi dalam sepak bola. Kisah tim kecil mengalahkan tim besar membuat sepak bola menarik.
Meski demikian, sebuah riset ilmiah justru membuktikan bahwa hasil pertandingan sepak bola Eropa semakin mudah ditebak. Singkat kata, sepak bola Eropa makin "membosankan" karena minim kejutan. Lantas, apa solusinya?
Setelah menganalisis pertandingan sepak bola Eropa selama 26 tahun di sebelas liga sepak bola utama Eropa, para ilmuwan menyimpulkan, hasil pertandingan menjadi lebih dapat diprediksi dari waktu ke waktu.
Selain itu, keunggulan bermain di kandang sendiri semakin menghilang. Ini adalah kesimpulan riset yang dimuat jurnal Royal Society Open Science.
Riset ini dipenggawai Taha Yasseri, seorang ilmuwan komputasi sosial di University College Dublin yang juga seorang penggemar sepak bola.
Yasseri menggunakan metode analisis jaringan untuk membuat prediksi tentang hasil pertandingan sepak bola di Eropa. Yasseri membuat model komputer dan menganalisis hampir 88.000 pertandingan 11 liga sepak bola Eropa selama 26 tahun terakhir
Dia menemukan, tim-tim yang lebih kuat semakin sering mengalahkan tim-tim yang lebih lemah. Artinya, kesenjangan kualitas antara tim kuat dan lemah Eropa semakin terasa.
Yasseri juga menemukan bahwa ketidaksetaraan kemampuan finansial di antara tim juga meningkat dari waktu ke waktu. Tim yang lebih baik memenangkan lebih banyak pertandingan dan meraup lebih banyak kekayaan.
Tim-tim kuat ini mampu membeli pemain yang lebih mahal dan pelatih yang lebih baik. Tim-tim kuat ini pun memenangkan lebih banyak pertandingan. Inilah lingkaran setan ketimpangan klub besar dan kecil yang membuat sepak bola Eropa makin membosankan karena juara dan pemenang laga semakin mudah diprediksi.
PSG dan Manchester City.Â
Ini tampak karena ada sejumlah tim yang disuntik modal luar biasa oleh pemilik dan investornya. Sebut sajaPSG dan Man City yang diguyur "dana minyak" kini sangat mendominasi liga-liga domestik. PSG bahkan belum lama ini membeli salah satu pemain mahal, Lionel Messi dari Barcelona. Man City saat ini unggul jauh dari para pesaingnya di Liga Inggris.
Apa solusinya?
Pemerataan pendapatan dan pembatasan pembelian pemain "sudah jadi" adalah dua solusi yang selama ini telah coba diterapkan.
Kita tahu, UEFA sudah menerapkan Financial Fair Play (FFP) yang antara lain mengatur agar klub tidak jor-joran berhutang untuk mendongkrak prestasi instan.
Dirancang untuk memastikan bahwa klub membelanjakan uang sesuai kemampuan mereka, aturan FFP tersebut diterapkan oleh UEFA pada 2011 untuk menghentikan tim-tim Eropa dari menanggung kerugian dan utang besar.Â
Dengan aturan Financial Fair Play ini UEFA ingin mendorong tim-tim Eropa untuk berhati-hati secara finansial. Akan tetapi, FFP ternyata tidak serta merta menguntungkan klub-klub menengah dan kecil.
Penyebabnya bukan pada FFP, tetapi kiranya pada penyelenggaraan Liga Champions dengan sistem yang semakin menguntungkan klub-klub besar.Â
Tim yang berpartisipasi di Liga Champions  bisa mendapatkan hadiah uang hingga £60 juta dan hak siar televisi per musim jika klub berhasil mencapai final. Sebuah klub hanya perlu memainkan 13 pertandingan dari babak grup untuk mencapai final Liga Champions Eropa.Â
Sebagai perbandingan, tim yang finis di posisi terbawah Liga Premier Inggris sekarang akan mendapat dana £175 juta, tetapi sebuah tim harus menjalani 38 pertandingan. Sungguh tidak "adil", bukan?
Liga Champions Eropa selama ini ternyata ikut melanggengkan dominasi tim-tim besar Eropa. Celakanya lagi, sejumlah tim besar terbukti pernah ingin mendapat lebih banyak uang lagi dengan ide European Super League.
Sila baca: Kontroversi European Super League: Ide Serakah Pemilik Klub-klub "Semau Gue"
Inti masalah sepak bola Eropa saat ini adalah keserakahan dan tiadanya kehendak politik regulator sepak bola Eropa dan tiap negara untuk mengupayakan keadilan bagi tim-tim kecil.Â
Akibat keserakahan dan sikap tutup mata UEFA dan regulator liga-liga Eropa, mukjizat Leicester, tim kecil yang bisa menjuarai Liga Primer Inggris pada 2016 akan terus menjadi dongeng indah yang semakin mustahil terulang.
Sebenarnya, jika mau, setiap liga bisa mengatur berapa maksimal pengeluaran klub untuk membeli pemain "sudah jadi". Bisa pula diatur komposisi pemain senior dan junior dalam tim.
Masalahnya, investor dan sponsor sepak bola Eropa semakin gelap mata. Demi menggapai sukses instan, berapa pun siap digelontorkan.Â
Jangan lupa, UEFA juga punya catatan buruk dalam hal semangat antikorupsi. Sepp Blatter dan Michel Platini, dua mantan petinggi FIFA saat ini sedang menghadapi tuduhan korupsi di pengadilan Swiss.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H