Pertama-tama, tulisan ini adalah kisah nyata yang keluarga besar kami alami, tanpa maksud untuk mencampuri urusan orang lain.Â
Bukan pula untuk membahas kontroversi tentang apa boleh atau tidak mengucapkan selamat Natal dan hari besar keagamaan lain. Suatu "siklus tahunan" yang biasanya muncul jelang Natal.Â
Setiap warga negara berhak menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya sesuai amanat UUD 1945. Tentu dengan memperhatikan konteks hidup kita dalam masyarakat bhinneka.Â
Keluarga kami diwarnai keberagaman suku dan agama
Saya merasa sangat beruntung memiliki keluarga besar yang diwarnai keberagaman suku dan agama.Â
Saya sendiri jadi bingung ketika ditanya apa suku saya. Dalam diri saya, ada darah Tionghoa, Belanda, dan Jawa. Suku saya ya Indonesia.Â
Keluarga besar kakek dan nenek saya telah sering berpindah tempat tinggal karena tuntutan pekerjaan. Maklum, kakek saya dari pihak ibu adalah seorang anggota TNI. Dari pihak ayah, kakek saya dulunya pelaut.Â
Perpindahan domisili ini turut mempengaruhi peningkatkan keberagaman suku, agama, dan ras dalam kawin-mawin keluarga besar kami. Karena itu, saya punya kerabat bersuku Batak, Manado, Jawa, Sunda, Melayu, dan sebagainya.Â
Di keluarga besar kami, ada pemeluk aneka agama dan tafsiran keagamaan. Umpama, sebagian paman dan bibi saya beragama Islam, Katolik, dan Kristen Reformasi (Protestan).
Di antara kerabat saya, ada pula yang berpindah keyakinan. Sebagian bahkan beberapa kali berpindah keyakinan. Saya tidak memandang hal ini sebagai sesuatu yang memalukan atau aneh.Â