Siapakah guru paling berkesan dalam hidupku? Jawabannya rumit. Bukan karena tidak ada yang sungguh berkesan. Justru terlalu banyak guru istimewa dalam hidupku.
Ketika aku SD, aku terkesan pada guru wali kelas yang sangat perhatian padaku sebagai murid pindahan di sekolah baru. Masa-masa yang tidak mudah bagiku karena perlu adaptasi dengan lingkungan baru.
Bu Uut, wali kelasku, sangat banyak membantuku dalam masa penyesuaian itu. Ketika aku melakukan sesuatu dengan baik, beliau langsung memuji.
"Wah, bersih sekali setelah kamu sapu," puji beliau saat aku selesai membersihkan kelas bersama kelompok piketku kala itu. Pujian sederhana yang aku ingat sampai dewasa. Pujian yang mengangkat kepercayaan diriku.Â
Ketika aku SMP, ada Bu Rina guru bahasa Inggris yang anggun (cantik dan memesona jadi satu) dan kreatif. Alih-alih mengajarkan teori bahasa dan membahas soal ujian, Bu Rina meminta kami untuk juga membuat drama berbahasa Inggris.
Akhirnya kelas bahasa Inggris jadi momen yang membahagiakan. Kami bisa mementaskan aneka lakon, mulai cerita serius sampai kisah konyol. Permainan role play itu membuatku jadi percaya diri dalam berbicara. Padahal, dulu aku termasuk pendiam.Â
Memanfaatkan kebaikan guru
Ketika aku SMA, aku merasa sangat beruntung diajar guru-guru yang humanis dan kreatif. Salah satunya Pak Rahmat, yang ketika murid-muridnya mengantuk, justru melempar kembang gula. Akhirnya kami memanfaatkan kebaikan beliau. Pura-pura ngantuk biar dapat permen.
Juga ada duo guru bahasa Indonesia yang sangat ciamik. Pak Tarno jago menjelaskan dan menanamkan struktur kalimat yang baik. Sementara Pak Didi pandai memacu murid untuk menulis.
"Jika tulisan kalian masuk media massa, kalian akan saya beri nilai sepuluh," demikian janji beliau. Aku waktu itu belum berhasil memenuhi tantangan Pak Didi.Â
Akan tetapi, berkat beliau, aku belajar giat untuk menulis dengan baik. Akhirnya, selang bertahun kemudian, tulisan-tulisanku ada yang tembus media massa.Â
Mimpi yang Terpendam
Salah satu keinginanku yang belum sempat terwujud adalah bersilaturahmi dengan para guruku sembari memberikan buku-buku karyaku.Â
Keinginanku yang juga belum sempat kuwujudkan ialah mengunjungi kembali rumah almarhum Pak Rahmat, guru geografiku. Beliau adalah seorang muslim saleh yang mengajar di tempat pendidikan Katolik.Â
Ketika bulan puasa, beliau sengaja tidak datang ke ruang guru. Mengapa? "Saya tidak ingin mengganggu guru-guru lain yang tidak berpuasa menikmati kudapan di ruang guru," tutur beliau waktu itu.Â
Saat aku dan seorang rekan utusan majalah sekolah mewawancarai beliau di rumahnya, aku bertanya, "Pak, mengapa Bapak mau mengajar bertahun-tahun di sekolah di mana murid-murid tidak seiman dengan Bapak?"
Dengan senyum tersungging di wajah, Pak Rahmat menjawab, "Bagi saya, mengajar itu ibadah. Siapa pun yang diajar tidak masalah." Jawaban itu membuat aku tertegun. Sampai sekarang.Â
Selamat Hari Guru 2021, para guru budiman. Jasa-jasa bapak dan ibu guru tidak akan kami lupakan.Â
***
Nama-nama hanyalah ilustrasi untuk kisah nyata ini. Salam edukasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H