Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak Sembako akan Diterapkan tapi Pajak Batu Bara Dibebaskan, Pendapat Jujur Seorang Rakyat

10 Juni 2021   17:33 Diperbarui: 10 Juni 2021   17:37 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pajak sembako akan diterapkan | Shutterstock via kompas.com

"Pancasila. Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"

Sejak kita kecil, kita sudah hafal di luar kepala sila-sila paramarta Pancasila. Sila kelima yakni "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" tentu sudah meresap dalam memori.

Menjadi masalah ketika sila keadilan sosial itu tidak menemukan perwujudannya dalam sejumlah kebijakan negara. Terbaru,  pemerintah bermaksud mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako. 

Rencana ini tertulis dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Draf RUU KUP menyebutkan, sembako tak lagi termasuk dalam obyek yang PPN-nya dikecualikan.

Argumentasi pemerintah problematis

Pemerintah tentu mengharapkan adanya pendapatan negara dari pajak-pajak baru demi menggerakkan roda pemerintahan di tengah pandemi Covid-19 ini. Ini bisa kita pahami. Masalahnya, mengapa menarik pajak untuk barang konsumsi pokok rakyat kecil? 

Stafsus Menteri Ekonomi, Yustinus Prastowo mengakui bahwa pajak sembako memang akan diterapkan dengan tetap memperhatikan keadilan. Sayangnya, penjelasan di Twitter tersebut masih samar-samar. 

Tak begitu jelas bagaimana bisa membedakan pajak sembako "untuk orang kaya" dan "untuk rakyat jelata" secara adil. Apakah sembako premium berharga sultan yang akan kena pajak lebih tinggi? 

Jika pun sembako kualitas prima yang dikenai pajak, bukankan orang kaya pun bisa beralih membeli sembako dengan harga biasa? Mirip milyuner yang punya mobil mewah, namun memilih membeli bahan bakar bersubsidi pemerintah?

Yustinus menulis, penerimaan negara dari pajak-pajak baru termasuk pajak sembako nantinya akan mendukung program subsidi bansos dan subsidi untuk rakyat kecil. Masalahnya, seberapa tepat sasarankah program subsidi dan bansos selama ini?

Tak perlu riset rinci, di media massa dan media sosial tersua banyak keluhan subsidi dan bansos salah sasaran dan disalahgunakan. Yang kaya malah menerima. Yang miskin malah tak ikut didata. 

RUU KUP penuh kejanggalan

Kejanggalan Draf RUU KUP yang mengatur pajak sembako bukan hanya soal wacana PPN sembako saja. Saya daftar beberapa kejanggalan:

1. Batu bara tidak dikenai pajak

Draf Revisi UU KUP menerangkan, beberapa barang dan jasa yang dihapus dari pengecualian PPN yakni beberapa barang hasil tambang maupun hasil pengeboran yang semula tak dikenai PPN. 

Anehnya, hasil tambang itu tidak termasuk hasil tambang batu bara. Padahal, batu bara adalah bisnis bernilai sangat tinggi, yang dijalankan perusahaan-perusahaan bermodal besar. 

Batu bara juga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang sangat mencolok mata. Lubang-lubang galian tambang dan polusi udara menjadi dampak tambang batu bara. Seharusnya batu bara dikenai pajak lingkungan alih-alih dibebaskan.

2. Jasa medis dan pendidikan pun akan dikenai pajak

Draf Revisi UU KUP juga membahas wacana penambahan obyek jasa baru yang akan dikenai PPN, antara lain jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi. 

Tak ketinggalan jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Di tengah pandemi dan kebutuhan layanan medis dan pendidikan yang layak, justru layanan medis dan pendidikan pun akan dikenai pajak. Bahkan hal-hal sederhana yang terkait kehidupan rakyat biasa seperti telepon umum dan wesel pos pun akan dipajaki.

Saya yang bukan ahli ekonomi saja bisa menemukan kesalahan logika dalam draf Revisi UU KUP ini. Pajak seharusnya dikenakan pada barang-barang bernilai ekonomi tinggi yang konsumennya kalangan atas, bukan barang dan jasa konsumsi rakyat melarat. 

Mengapa tidak memompa pajak tambahan dari barang-barang impor, seperti mobil dan barang elektronik serta aneka kebutuhan tersier? Bagaimana dengan pajak digital untuk raksasa media internet internasional, seperti YouTube, Twitter,Whatsapp, Facebook, dan lainnya?

Sudahkah potensi pajak ini digali secara optimal?

Pajak sembako bukan solusi 

Izinkan saya mengutip pendapat Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira. Bhima berpendapat, PPN sembako ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.

Bhima mengatakan,  sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan adalah harga bahan makanan. Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah. 

Keluarga kami mengelola sebuah toko sederhana di sebuah kota kabupaten di DIY. Sebagian besar barang yang toko kami jual adalah sembako dan makanan ringan. 

Setiap kali toko kami menaikkan harga barang, terutama sembako, kami sebagai penjual merasa sangat tidak enak hati. Terutama ketika harus menjelaskan pada para konsumen toko kami yang rata-rata rakyat biasa.

"Lho kok sekarang harga gula naik?" tanya para konsumen kami. Kami pun harus pandai-pandai menjelaskan, harga kulakan dari pasar dan pedagang grosir sudah naik sehingga kami terpaksa menaikkan harga.

Apakah para pembuat kebijakan di negeri ini tidak bisa membayangkan wajah-wajah memelas rakyat jelata yang akan makin menderita jika pajak sembako sungguh akan diterapkan?

Mungkin saja kenaikan seribu rupiah bagi kalangan elit tak terasa. Lain halnya bagi kami dan konsumen toko kami, para rakyat biasa. Pajak sembako jelas bukan solusi di tengah pandemi ini. 

Salam peduli. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun