Mengapa tidak memompa pajak tambahan dari barang-barang impor, seperti mobil dan barang elektronik serta aneka kebutuhan tersier? Bagaimana dengan pajak digital untuk raksasa media internet internasional, seperti YouTube, Twitter,Whatsapp, Facebook, dan lainnya?
Sudahkah potensi pajak ini digali secara optimal?
Pajak sembako bukan solusiÂ
Izinkan saya mengutip pendapat Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira. Bhima berpendapat, PPN sembako ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
Bhima mengatakan, Â sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan adalah harga bahan makanan. Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah.Â
Keluarga kami mengelola sebuah toko sederhana di sebuah kota kabupaten di DIY. Sebagian besar barang yang toko kami jual adalah sembako dan makanan ringan.Â
Setiap kali toko kami menaikkan harga barang, terutama sembako, kami sebagai penjual merasa sangat tidak enak hati. Terutama ketika harus menjelaskan pada para konsumen toko kami yang rata-rata rakyat biasa.
"Lho kok sekarang harga gula naik?" tanya para konsumen kami. Kami pun harus pandai-pandai menjelaskan, harga kulakan dari pasar dan pedagang grosir sudah naik sehingga kami terpaksa menaikkan harga.
Apakah para pembuat kebijakan di negeri ini tidak bisa membayangkan wajah-wajah memelas rakyat jelata yang akan makin menderita jika pajak sembako sungguh akan diterapkan?
Mungkin saja kenaikan seribu rupiah bagi kalangan elit tak terasa. Lain halnya bagi kami dan konsumen toko kami, para rakyat biasa. Pajak sembako jelas bukan solusi di tengah pandemi ini.Â
Salam peduli.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H