Karena itu, kita perlu memilah mana bahan tulisan yang aman dan tidak terlalu rumit untuk dituangkan dalam karya tulis kita. Identitas narasumber perlu juga kita jaga kerahasiaannya bila kisahnya sensitif.Â
Nah, saya biasa mengolah kisah yang terlalu sensitif dengan membuat artikel semifiktif dan atau karya fiksi. Apa itu artikel semifiktif? Artinya artikel semacam feature yang diolah sedemikian rupa sehingga pesan kisah nyata tetap tersampaikan tanpa merugikan narasumber.
Subjek atau tokoh utama bisa kita ganti dengan diri kita atau pribadi (fiktif) lain. Bisa juga kita mencampur dua kisah nyata atau lebih menjadi satu kisah feature atau karya fiksi (cerpen, novel, puisi, dst.)
Apakah hal ini tidak berarti penulis sedang berbohong? Hmm...menurut saya sih tidak, tetapi dengan syarat bahwa tujuan mulia tulisan itu lebih besar bobotnya dari "rekayasa" yang penulis buat dalam tulisan semifiktif itu.Â
Justru seringkali cara ini adalah satu-satunya cara untuk menyampaikan kisah nyata istimewa yang sangat bermanfaat bagi pembaca, tanpa merugikan narasumber.Â
Karya fiksi menjadi wahana paling lentur dan aman dalam menuangkan kisah-kisah nyata apa pun. Bahkan skandal, tragedi, dan kisah kejahatan pun bisa disajikan dengan ciamik dalam rupa karya fiksi.
Ketiga, memosisikan diri sebagai narasumber dan pembaca sekaligus
Penulis berperan sebagai penghubung antara narasumber kisah nyata dan para pembaca. Narasumber perlu kita mintai izin sebelum menuliskan kisahnya. Tentu jika upaya menghubungi narasumber sudah mentok, barulah kita menyerah.Â
Ketika menulis, bayangkan diri kita sebagai narasumber. Akankah dia bahagia dengan cara kita menulis kisahnya? Apakah dia akan sakit hati?
Pada saat yang sama, kita perlu menempatkan diri kita sebagai pembaca. Apa hikmah yang bisa pembaca petik dari kisah ini? Apakah pembaca bisa menebak sosok narasumber secara persis jika membaca tulisan kita? Hal ini perlu kita waspadai ketika menulis kisah sensitif seseorang.Â
Beberapa contoh