"Kemajuan teknologi adalah ironi yang membingungkan dan mengasyikkan" (R.B.)
Filsuf Rene Descartes pernah menyatakan, "Cogito, ergo sum". Aku berpikir maka aku ada. Ungkapan ini kini dipelesetkan menjadi beragam kalimat. Salah satunya, "Aku eksis maka aku ada".
Kadang-kadang kita kebingungan sendiri kala ditanya: "Mengapa punya (banyak) akun medsos?" Kita hanya menjawab sekenanya saja. Yang penting eksis.Â
Sedikit narsis pun oke. Biarpun jarang dibuka, tetap "harus" punya akun media sosial. Sebanyak-banyaknya. Tak cukup satu.
Di tengah "keharusan" untuk memiliki akun media sosial, rupanya ada juga sebagian orang yang tidak punya akun media sosial. Menariknya, bukan karena -maaf- secara fisik dan psikis tidak memesona.
Sebagian orang yang merasa diri "aku terlalu menarik dan cantik" rupanya secara sadar memilih untuk tidak punya media sosial. Sebuah ironi yang membingungkan dan mengasyikkan. Bagaimana ini bisa kita jelaskan?
Sebut saja Samsu dan Siti Nur
Samsu sudah lama berpisah dengan Siti Nur, cinta pertamanya kala SMK. Waktu itu ponsel masih sebesar teko air. Jalinan kasih dua insan ini pun tersambung melalui surat. Semua seakan surga hingga perpisahan itu terjadi.
Waktu bergulir. Zaman berubah. Tetapi cinta pertama tetaplah cinta pertama yang sulit dilupa. Biarpun Samsu sudah menikah, ia tetap menyimpan rasa pada si jelita Siti Nur yang entah di mana.
Samsu berupaya mengontak kawan-kawan lamanya di SMK. Sebagian ia jumpai di Facebook dan Instagram. Sayangnya, sebagian lagi lenyap. Termasuk Siti Nur, si cantik yang anehnya tak punya satu pun medsos.
Teman-temannya seangkatan pun sudah kehilangan kontak dengan Siti Nur. "Mungkin dia sengaja tak punya medsos," kata seorang kawan.