Alkitab justru mau mengoreksi pandangan-pandangan keliru tentang difabilitas. Terkait Imamat 21:17-24 yang memuat diskriminasi terhadap penyandang difabilitas, kita perlu memahaminya dalam alam pikir Yahudi (Perjanjian Lama).
Dalam pemikiran orang Yahudi waktu itu, anak domba yang dipersembahkan pada Allah saja haruslah yang tidak cacat (Imamat 4:32). Logika pada waktu itu, imam yang mempersembahkan juga harus tidak bercacat fisik.
Kita tahu, yang berkenan pada Allah adalah hati, bukan soal penampilan fisik. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" (1 Samuel 16:7).
Allah melibatkan penyandang disabilitas dalam karya kebaikan
Alkitab mengisahkan sejumlah kisah penyandang disabilitas yang dilibatkan Allah dalam karya kebaikan-Nya bagi manusia.
Pertama, kisah Musa yang sempat merasa keberatan ketika Allah memanggilnya untuk menolong bangsa Israel dari penindasan di Mesir. Musa berkata kepada Tuhan: “Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara…sebab aku berat mulut dan berat lidah.” Tetapi Tuhan berfirman: “Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan” (Keluaran 4:10.12).
Kedua, kisah orang lumpuh yang memuliakan Allah setelah mendapatkan kesembuhan. Injil mencatat, “Seketika itu juga bangunlah ia, di depan mereka, lalu mengangkat tempat tidurnya dan pulang ke rumahnya sambil memuliakan Allah” (Lukas 5:25).
Dalam dua kisah di atas, para penyandang disabilitas rupanya dibimbing oleh Allah untuk menjadi pembawa kebaikan. Singkat kata, para penyandang disabilitas sungguh bermartabat luhur di hadapan Allah. Kita pun diajak untuk mencintai para penyandang disabilitas secara tulus.
Yesus menyembuhkan para penderita disabilitas
Ada dua aspek pelayanan Yesus kepada orang sakit dan yang mengalami disabilitas:
Pertama, Yesus menyentuh mereka yang sakit baik jasmani maupun rohani.