"Pak, Anda kerja di mana?" tanya Mbok Painah setelah mobil kodok itu kembali meluncur menembus kabut pagi.
"Oh, saya kerja sebagai sopir untuk majikan saya. Majikan saya kepala dinas kesehatan di Jogja," jawab pria paruh baya itu.Â
"Wah, anak saya yang pertama itu ingin juga jadi pegawai negeri. Ya semoga tercapai. Tapi uang sekolah saja susah," tutur Mbok Painah.
"Nama Mbok siapa? Tinggal di desa mana? Nanti saya sampaikan ke majikan saya. Siapa tahu bisa diberi beasiswa untuk anak Simbok," jawab pria itu.
"Saya Painah, Pak. Warga Desa Rejosari. Rumah saya di dekat balai desa. Mudah sekali jika ingin dikunjungi," sahut Mbok Painah sambil menata sayuran agar tidak mengotori mobil itu.
"Mbok Painah tanam sayur sendiri? Berapa penghasilan sehari?"
"Sebagian sayur saya tanam sendiri, Pak. Sebagian titipan tetangga untuk dijual di pasar. Penghasilan ya tidak tentu. Kalau kesiangan kadang bawa pulang sedikit uang saja," ujar Mbok Painah.
"Terus kalau sayur tidak terjual, bagaimana nasibnya, Mbok?"
"Saya berikan ke tetangga yang tidak punya apa-apa. Ya itulah, Pak. Saya orang miskin tapi ternyata masih ada yang lebih miskin dari saya."
Sang sopir menghela nafas panjang. "Wah, hebat sekali kebaikan Mbok Painah. Kita memang harus bersyukur, ya Mbok. Wang-sinawang. Orang selalu membandingkan diri dengan orang lain. Tidak pernah puas. Sulit bersyukur atas apa yang dimiliki."
**