Apakah sahabat pembaca pernah mendengar atau melihat pohon menggeris? Saya pernah melihat langsung ketika bertugas setahun di Kalimantan Utara. Pohonnya tinggi menjulang seperti penggaris. Hehe.
Mengapa pohon menggeris dianggap sakral?
Ketika saya mengunjungi sebuah kecamatan di wilayah Nunukan, Kalimantan Utara beberapa tahun lalu, saya mendengar bahwa pohon menggeris dianggap sakral oleh warga setempat.
Siapa pun dilarang menebang pohon tinggi itu. Yang nekat menebang akan mendapat celaka. Demikian penuturan warga.Â
Rupanya perusahaan sawit yang beroperasi di daerah itu pun masih mematuhi pantangan adat menebang menggeris. Di antara lahan sawit, masih ada sejumlah pohon menggeris yang dibiarkan tumbuh.Â
Alasan ilmiah menggeris dilarang ditebang
Akan tetapi, ada alasan ilmiah mengapa menggeris dilarang ditebang. Pohon ini adalah rumah bagi lebah madu hutan (Apis dorsata).
Produktivitas sarang lebah hutan ini cukup mencengangkan. Sarang yang dipanen dapat menghasilkan madu 10-20 liter dengan lama panen 6-8 hari. Â Tiap bulannya pemanen madu mampu menghasilkan 500-1000 liter madu segar. Demikian rilis madusutainnk.Â
Selain itu, tentu pohon menggeris dianggap sakral sebagai wujud kearifan lokal (local genius) warisan luhur nenek moyang kita dalam memelihara kelestarian alam. Sakralitas menggeris bisa dijelaskan secara ilmiah dan rasional.Â
Justru kita, orang-orang zaman sekarang yang mengaku diri modern, tetapi telah kehilangan kearifan dalam memelihara alam. Kita lupa bahwa tiap makhluk dan elemen alam adalah sakral karena Tuhan menciptakan demi keseimbangan alam dan kebaikan kita sendiri.Â
Salam lestari!
Terbit pula di blog pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H