Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan featured

Mengapa Pohon Menggeris Dianggap Sakral di Kalimantan?

29 Maret 2021   14:15 Diperbarui: 21 November 2021   07:36 9659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah sahabat pembaca pernah mendengar atau melihat pohon menggeris? Saya pernah melihat langsung ketika bertugas setahun di Kalimantan Utara. Pohonnya tinggi menjulang seperti penggaris. Hehe.

Mengapa pohon menggeris dianggap sakral?

Ketika saya mengunjungi sebuah kecamatan di wilayah Nunukan, Kalimantan Utara beberapa tahun lalu, saya mendengar bahwa pohon menggeris dianggap sakral oleh warga setempat.

Siapa pun dilarang menebang pohon tinggi itu. Yang nekat menebang akan mendapat celaka. Demikian penuturan warga. 

Rupanya perusahaan sawit yang beroperasi di daerah itu pun masih mematuhi pantangan adat menebang menggeris. Di antara lahan sawit, masih ada sejumlah pohon menggeris yang dibiarkan tumbuh. 

Alasan ilmiah menggeris dilarang ditebang

Akan tetapi, ada alasan ilmiah mengapa menggeris dilarang ditebang. Pohon ini adalah rumah bagi lebah madu hutan (Apis dorsata).

Image caption
Image caption

Produktivitas sarang lebah hutan ini cukup mencengangkan. Sarang yang dipanen dapat menghasilkan madu 10-20 liter dengan lama panen 6-8 hari.  Tiap bulannya pemanen madu mampu menghasilkan 500-1000 liter madu segar. Demikian rilis madusutainnk. 

Selain itu, tentu pohon menggeris dianggap sakral sebagai wujud kearifan lokal (local genius) warisan luhur nenek moyang kita dalam memelihara kelestarian alam. Sakralitas menggeris bisa dijelaskan secara ilmiah dan rasional. 

Justru kita, orang-orang zaman sekarang yang mengaku diri modern, tetapi telah kehilangan kearifan dalam memelihara alam. Kita lupa bahwa tiap makhluk dan elemen alam adalah sakral karena Tuhan menciptakan demi keseimbangan alam dan kebaikan kita sendiri. 

Salam lestari!

Terbit pula di blog pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun