Jakarta. Sebuah kota. Selaksa cerita. Batavia memang bukan kota kelahiranku. Akan tetapi, kunjungan-kunjungan singkatku di kota metropolitan itu tetap saja meninggalkan memori syahdu. Tentang ibu kota yang perlu sentuhan ibu.
Jakarta, kota para perantau ulung
Dari daerahku, sebuah kabupaten di sisi timur DI Yogyakarta, ribuan perantau mendatangi Jakarta. Mengadu nasib di belantara beton dan hutan perkantoran. Bersua aneka suku se-Nusantara yang sama-sama merantau demi penghidupan.
Sebagian besar memang bukan pekerja kerah putih. Akan tetapi, bukan berarti hati tak bersih. Para perantau dari daerahku banyak yang sukses di ibu kota. Tentu dengan kadar kesuksesan yang berbeda-beda.
Sukses menjadi pedagang bakmi jawa. Berhasil mengirim uang bulanan untuk orang tua yang terlunta di desa. Menjadi guru yang bisa digugu (dipercaya) dan ditiru.Â
Lazimnya kala para perantau sudah cukup berhasil, mereka mengundang kerabat dan sahabat serta tetangga dekat. Jadi rekan sejawat dalam mengais rezeki di kota yang tak pernah mati.
Kala Lebaran tiba, kembalinya para perantau Jakarta menggerakkan ekonomi kabupaten kami. Toko keluargaku pun kecipratan cuan. Laris manis kala para pemudik tiba.Â
Kadang terselip juga kisah konyol. Pemudik dari Jakarta ingin tampak sukses dan gagah. Mobil sewaan didaku buah kesuksesan. Biar bisa dipamerkan pada keluarga dan juga mantan. Eh...
Jakarta, polusi dan kemacetan
Paling lama aku tinggal di Jakarta selama sebulan. Bukan karena tak cinta. Karena memang hanya segitu waktu tersedia. Aku tinggal di kawasan Sunter. Dekat RSPI Sulianti Saroso.Â
Aku masih ingat, sepulang jalan-jalan sore, kulitku tetiba sedikit legam. Rupanya debu polusi ibu kota penyebabnya. Gila. Di Jogja belum pernah aku mengalami yang seperti ini.Â