Ibu identik dengan sikap sebagai pemelihara dan pengasuh kehidupan. Jakarta sebagai ibu kota yang keras kiranya perlu pemimpin-pemimpin yang memiliki kualitas dan sikap keibuan: merawat dan mengasuh kehidupan warganya dengan penuh perhatian.
Tak harus menjadi seorang perempuan untuk menjadi pemimpin yang berhati keibuan. Pemimpin yang mendengarkan, sabar, dan berupaya memperhatikan warga dalam suka dan duka adalah para pemimpin dengan karisma keibuan.
Pemimpin berhati keibuan mudah didekati dan mendekati warga ibarat ibu yang selalu siap menyediakan bahu sandaran dan pelukan bagi anak-anaknya.
Pemimpin berhati keibuan tahu cara mendidik anak dengan ketegasan, bukan kekerasan. Pemimpin berhati ibu tahu cara merangkul segala kalangan. Ia mafhum, warga Jakarta sejatinya adalah insan-insan mulia meski kadang ada saja yang tampak egois dan keras khas tipikal orang kota.
Pemimpin keibuan tentu cinta dan rajin mendidik cinta alam dan kebersihan. Pembuatan taman kota, lubang biopori, ruang terbuka hijau tentu akan ia galakkan. Ia tentu tegas "menjewer" para perusak lingkungan.Â
Akan tetapi, jangan lupa. Jakarta tak hanya perlu pemimpin keibuan. Ibu kota sangat mendamba para warga dan pejalan yang juga berhati keibuan: merawat dan memelihara kota seperti mencinta dan merawat diri sendiri.
Wasana kata
Jakarta oh Jakarta. Di balik kerasmu, ada kasih dan kelembutan. Orang-orang perantuan yang berkarakter kuat karena ditempa keadaan. Warga yang saling tolong-menolong dalam kekurangan. Wajah-wajah yang sekilas dingin, tetapi di dalam hati tetap dipenuhi cinta hangat.
Seperti Pak Polisi yang waktu itu menghentikan aku dan motorku yang meluncur di jalur khusus mobil. Setelah memeriksa SIMku, ia bertanya, "Mas, dari Jogja, ya? Sudah berapa lama di Jakarta?"
Aku menjawab, "Baru beberapa hari, Pak." Tak kuduga-duga, si Pak Polisi tak jadi menilangku. "Ya sudah, lain kali jangan melanggar lagi, ya." Aku berterima kasih. Ketika aku hendak meluncur lagi, Pak Polisi berbisik. "Mas, saya juga dari Jogja."
R.B, 23 Februari 2021