Yang lebih lucu tapi tragis lagi adalah bahwa klik untuk artikelku tadi hanya 160 saja. Padahal emotikon reaksi artikel di FB Kompasiana mencapai hampir 700-an. Ini menunjukkan banyak warganet yang komentar dan beri emotikon, tapi lupa mengklik artikel Kompasiana.Â
Tebakanku mengapa warganet tidak mengklik artikelku:
- mungkin rumah mereka kebanjiran jadi harus hemat baterai hape.
- mungkin judul artikelku tidak menarik. Lebih menarik mengomentari komentar yang unyu dan ambyar.
- mungkin aku harus ganti haluan jadi penulis gosip: makin digosok makin sip. Wkkk.
Padahal dalam artikel itu, aku menguraikan bahwa banjir sudah melanda banyak kota di Indonesia. Bukan hanya di Jakarta. Semarang dan sejumlah daerah di Kalsel juga.Â
Juga aku kisahkan upaya-upaya kreatif untuk mencegah air bah. Misalnya dengan meniru langkah Pemkot Surabaya yang rajin menanam saham. Eh, menanam pohon dan menambah jumlah taman kota. Plus bus yang tiketnya dibayar dengan sampah plastik.
Aku sih tetap hepi-hepi aja karena toh kolom komentar FB dibanjiri komentar unyu yang bikin bahagia. Cuma sayang sekali, cukup banyak atau bahkan sebagian besar komentar warga dibuat tanpa membaca artikel yang kutulis susah-payah.Â
Ah, ga usah muluk-muluk jadi orang Indonesia. Siapa suruh jadi warga negeri dengan warga paling bahagia sedunia? Kala banjir saja, masih bisa bercanda. Tarik Sis, semongko.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H