Hari ini aku menulis artikel tentang banjir dan upaya manusia untuk mencegah agar air bah tidak jadi bencana, tapi berkah. Judulnya sederhana saja: "Kala Banjir, Mari Berhenti Menyalahkan Hujan dan Air".
Seorang sahabat mengirimkan utas artikelku yang dibagikan juga di Facebook Kompasiana. Sampai waktu aku menulis coretan ini, jumlah ikon reaksi mencapai 680-an. Komentar meluber bak banjir. Ternyata asyik juga menulis artikel tentang banjir karena kolom komentar banjir humor.
Ini beberapa di antaranya:
a) Solusi tidak tergenang banjir hanya satu: Berhenti Bernafas. Jika Anda tidak bernafas, Anda bebas dari banjir.
b) Dengan banjir status ekonomi warga naik. Masing-masing punya kolam renang.
c) Kenapa Indonesia ada musim hujan dan banjir. Coba musim semi. Biar berbunga-bunga to.
d) Kalau ga mau ada banjir, ga usah ada kota. Jadiin hutan aja biar ga banjir.
e) Mari kita salahkan Belanda dan VOC kenapa dari zaman dulu banjir.
f) Ya salah airnya dong. Udah tahu rumah masih aja nyelonong. Gimana sih Anda yang posting ini?
Hahay..
Yang lebih lucu tapi tragisÂ
Yang lebih lucu tapi tragis lagi adalah bahwa klik untuk artikelku tadi hanya 160 saja. Padahal emotikon reaksi artikel di FB Kompasiana mencapai hampir 700-an. Ini menunjukkan banyak warganet yang komentar dan beri emotikon, tapi lupa mengklik artikel Kompasiana.Â
Tebakanku mengapa warganet tidak mengklik artikelku:
- mungkin rumah mereka kebanjiran jadi harus hemat baterai hape.
- mungkin judul artikelku tidak menarik. Lebih menarik mengomentari komentar yang unyu dan ambyar.
- mungkin aku harus ganti haluan jadi penulis gosip: makin digosok makin sip. Wkkk.
Padahal dalam artikel itu, aku menguraikan bahwa banjir sudah melanda banyak kota di Indonesia. Bukan hanya di Jakarta. Semarang dan sejumlah daerah di Kalsel juga.Â
Juga aku kisahkan upaya-upaya kreatif untuk mencegah air bah. Misalnya dengan meniru langkah Pemkot Surabaya yang rajin menanam saham. Eh, menanam pohon dan menambah jumlah taman kota. Plus bus yang tiketnya dibayar dengan sampah plastik.
Aku sih tetap hepi-hepi aja karena toh kolom komentar FB dibanjiri komentar unyu yang bikin bahagia. Cuma sayang sekali, cukup banyak atau bahkan sebagian besar komentar warga dibuat tanpa membaca artikel yang kutulis susah-payah.Â
Ah, ga usah muluk-muluk jadi orang Indonesia. Siapa suruh jadi warga negeri dengan warga paling bahagia sedunia? Kala banjir saja, masih bisa bercanda. Tarik Sis, semongko.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H