Dalam jagad medsos, code-mixing atau campur kode ini sangat mudah kita temui. Misalnya saja:
- Gue lagi overthinking nih (lewah pikir atau banyak pikiran).
- Kenapa sih berita unfaedah gini di-up mulu? (tidak berguna ; ditayangkan).
Dua risiko bahasa "dialek Anak Jaksel"
Gejala campur kode yang sangat jamak kita jumpai dan kita praktikkan dalam pergaulan sehari-hari tampaknya oke-oke saja. Bahkan mungkin kita merasa lebih keren kala mencuit atau mengunggah "dialek Anak Jaksel" di medsos.
Ada dua risiko berbahasa ala "Anak Jaksel" yang perlu kita sadari:
Pertama, bisa membuat lawan bicara tidak mengerti
Tidak ada masalah ketika percakapan gado-gado atau ala Anak Jaksel itu kita gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang juga mengerti bahasa gado-gado itu.
Menjadi masalah ketika bahasa gado-gado itu menjadi tidak jelas bagi lawan bicara yang kita anggap bisa memahami, padahal tidak! Tidak semua orang yang membaca tulisan kita di medsos dan aplikasi perpesanan memahami istilah-istilah gado-gado.Â
Istilah gaul sering muncul di lingkup terbatas, baru kemudian meluas. Dalam percakapan "formal" (juga dalam aplikasi perpesanan) dengan guru, dosen, atasan, dan lembaga resmi sedapat mungkin kita gunakan ragam baku. Apalagi kala bercakap-cakap dengan orang yang patut kita hormati.
Kedua, bisa membuat kita meyakini tata bahasa dan kosakata yang salah