Kepada anak-anaknya, Paulus Madur berpesan, "Kalian lahir di Kampung Baru, Koja ini. Kalian lihat ada banyak anak keluarga sederhana di sini. Sekolah ini tidak boleh ditutup. Anak-anak Papa harus lanjutkan sekolah ini."
Setelah Paulus wafat, tantangan tak lantas lenyap. Suatu hari keluarga Paulus menerima lagi surat dari pemerintah. Isinya bahwa sekolah akan digusur.Â
"Saya buat surat ke wali kota. Saya buat tembusannya ke kecamatan. Juga ke perusahaan pengelola jalan tol. Syukurlah surat itu dibaca para pejabat. Sekolah yang dirintis papa saya tidak jadi ditutup," tutur Robertus yang gigih meneruskan perjuangan ayahnya.
Baca Juga:Â Mereformasi Sekolah di Daerah
Hermina, setia mendidik anak kaum sederhana
Siapa yang bertugas mengajar para anak kolong di Sekolah AnKol? Ibu Hermina, anak kelima Paulus adalah pendamping utama para siswa AnKol.Â
Pada awalnya, siswa AnKol adalah anak-anak jalanan berusia 14 tahun ke atas. Mereka sudah mulai mandiri dengan bekerja ala kadarnya. Ada juga yang sudah berumah tangga pada usia dini.
Hermina bukanlah lulusan fakultas keguruan. Ia "hanya" tamatan sekolah menengah atas. Sebelum menjadi pengajar di Sekolah AnKol, ia sempat bekerja.
"Awalnya saya tidak tertarik mendampingi anak jalanan. Pandangan saya berubah ketika saya diajak mengunjungi kaum sederhana di kolong jembatan. Jujur, sempat jijik ketika disuguhi makanan di kolong jembatan yang kotor dan berbau tidak sedap. Saya hanya berdoa dalam hati agar saya dijauhkan dari penyakit. Syukurlah, sampai kini saya sehat," tutur Hermina.
Lambat laun cinta pada kaum tersingkir mekar di hati Hermina. Ia jadi rajin mengunjungi para lansia.Â
"Sebagian lansia itu dibuang oleh anak mereka sendiri sehingga terpaksa tinggal di kolong jembatan. Saya tidak punya banyak uang, tetapi berusaha memberi mereka makanan. Saya merenung, inilah bekal saya pada saat saya kelak dipanggil Tuhan," kata wanita palamarta ini.