Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Ada Perang Ada Uang", Konsep Perang Adil, dan Dangdut Damai

21 November 2020   06:35 Diperbarui: 21 November 2020   09:20 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyanyi dangdut Nella Kharisma menghibur ratusan penonton dalam perayaan HUT Ke-55 SMKN 2 Malang di Lapangan SMKN 2, Kota Malang, pada 31 Januari 2018. (SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO)

Kita semua menginginkan damai. Sayangnya, tidak semua orang cinta damai. Beberapa pihak bahkan sengaja menciptakan perang. Siapa mereka? Mulai dari oknum pemimpin politik yang serakah dan psikopat hingga pemilik industri senjata kelas berat.

Logika ekonomi sederhana bisa menjelaskan mengapa perang, kerusuhan, dan konflik terus diciptakan, meski sebenarnya cara-cara damai bisa dicapai:

Ada perang, ada uang.

Mereka yang berkecimpung dalam industri senjata tingkat dunia tentu paham. Saat ada ketegangan antarnegara, pesanan senjata makin lancar jaya!

Dalam konteks internal suatu negara pun, tak jarang konflik diciptakan. Dibuat skenario seolah-olah ada pemberontakan. Pasukan bersenjata lengkap pun dikerahkan. Dana triliunan mengalir. Entah sungguh untuk menyejahterakan prajurit atau berakhir di saku penggila duit!

Ah, sudahlah. Kita selalu gagal menjadi manusia yang seharusnya mencintai sesama. Aneka perang telah, sedang, dan akan menjadi "solusi" konflik.

Perang pun adakalanya perlu!
Kekejaman perang yang tak terhindarkan telah membuat banyak orang berpikir keras tentang bagaimana membatasi dampak negatif perang.

Jika tak bisa mencegah perang, buatlah "aturan berperang"!

Perang itu seringkali juga "diperlukan" sebagai pilihan terakhir untuk mencegah meluasnya kejahatan seseorang atau sejumlah negara. Bangsa Indonesia pun telah kenyang pengalaman berperang demi menegakkan kedaulatan dan membela hak-hak mendasar kita.

Di satu sisi kita mengutuk perang yang nyata-nyata merugikan, namun di sisi lain kita juga "mengakui" adakalanya perang itu "berguna", bahkan wajib dilakukan.

Semut kecil diinjak pun (pasti) menggigit. 

Demikian pula, jika kita diinjak bangsa lain, tentu kita punya hak "menggigit" untuk membela diri. Sesederhana itu.

Syarat perang adil atau just war
Kita tahu adanya konsep etika "Just War" atau perang yang adil. Konsep "Perang Adil" atau "Just War" dirintis oleh dua filsuf Yunani dan Romawi kuno: Plato dan Cicero. Konsep ini dimatangkan oleh teolog kristiani yaitu Agustinus dan Thomas Aquinas.

Sebagian besar pemikir sepakat bahwa, untuk dianggap adil, perang harus memenuhi beberapa persyaratan jus ad bellum. Empat syarat paling penting adalah:

(1) perang harus dinyatakan secara terbuka oleh otoritas kedaulatan yang sah (mis., otoritas pemerintahan negara yang bersangkutan);

(2) perang harus memiliki alasan (mis., pembelaan atas kebaikan bersama atau respons terhadap ketidakadilan yang serius);

(3) negara yang bertikai harus memiliki niat yang adil (yaitu, ia harus berperang demi keadilan dan bukan untuk kepentingan pribadi); dan

(4) tujuan perang haruslah untuk menciptakan perdamaian yang adil.

Sejak akhir Perang Dunia II, syarat Perang Adil bertambah dengan tiga hal ini:

  • Perang menjanjikan peluang keberhasilan yang masuk akal;
  • Kekuatan militer harus digunakan sebagai upaya terakhir; dan
  • manfaat perang yang diharapkan harus melebihi biaya yang diperkirakan

Mengurangi jatuhnya korban sipil atau nonkombatan adalah juga syarat sebuah perang yang adil dan dapat dibenarkan. 

Syarat yang sulit dipenuhi
Jika kita cermati, syarat-syarat perang adil atau "just war" di atas sulit dipenuhi dalam praktik kehidupan nyata di dunia internasional. Syarat ketiga, yaitu bahwa "negara yang bertikai harus memiliki niat adil untuk menciptakan perdamaian" rasanya hanya indah di atas kertas.

Di balik pernyataan perang negara-negara adidaya maupun negara biasa saja, faktor kepentingan pribadi politikus kiranya tetap mewarnai. Kita tentu masih ingat suatu perang belum lama ini yang konon ditujukan untuk mencegah pembuatan senjata pemusnah massal.

Setelah negara tersebut "berhasil" diduduki, ternyata tidak ditemukan cukup bukti adanya fasilitas senjata pemusnah massal. Nah, lalu bagaimana ini? Dampak korban jiwa dan luka sudah telanjur banyak. Tak terhitung betapa banyak keluarga dan anak kehilangan orang tua akibat perang.

Lagi-lagi, faktor kerakusan ekonomi menjadi alasan utama yang dibalut motivasi "suci".

Diplomasi dan dangdut damai
Sejatinya ada solusi kuno yang cukup manjur bila dijalankan dengan jujur. Diplomasi alih-alih berperang. Toh ada juga PBB dan aneka lembaga internasional yang siap menjadi perantara dialog dan diplomasi.

Zaman kiwari, dunia ini sudah cukup menderita akibat pandemi, kemiskinan, dan kelaparan. Untuk apa menambah duka dan luka? 

Di dalam negeri kita Indonesia tercinta, kita juga punya jutaan masalah bersama. Pengangguran, stunting, narkoba, dan banyak lagi.

Untuk apa saling membenci dan "berperang" melawan saudara setanah air sendiri?

Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Lebih mantap lagi, daripada berperang, mari kita berdendang dan bergoyang. Karena pandemi, goyang virtual saja dulu di rumah masing-masing.

Penyanyi dangdut Nella Kharisma menghibur ratusan penonton dalam perayaan HUT Ke-55 SMKN 2 Malang di Lapangan SMKN 2, Kota Malang, pada 31 Januari 2018. (SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO)
Penyanyi dangdut Nella Kharisma menghibur ratusan penonton dalam perayaan HUT Ke-55 SMKN 2 Malang di Lapangan SMKN 2, Kota Malang, pada 31 Januari 2018. (SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO)
Dangdut is the music of my country! Salam dangdut damai! Tarik, Sis Semongko... Assoy geboy. Hehehe.

Pojokhati, R.B. 21 November 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun