Mengapa saya membaca artikel-artikel di Kompasiana? Apa yang menarik dan unik di Kompasiana dibanding media arus utama? Mengapa memilih jadi penulis Kompasiana?
Jawaban atas rentetan pertanyaan di atas bisa sangat beragam. Salah satu jawaban adalah bahwa saya dan pembaca menyukai reportase jurnalisme warga ala rekan-rekan kompasianer, yang melawan arus jakartasentrisme media.
Jakartasentrisme media arus utama
Wah, apa pula itu jakartasentrisme media arus utama (mainstream)? Sebenarnya gejala ini sudah cukup lama disadari penggiat dan pengamat media arus utama. Â
Pada 2014, Remotivi merilis hasil penelitian dengan tajuk "Melipat Indonesia dalam Berita Televisi: Kritik atas Sentralisasi Penyiaran."
Muhamad Heychael & Kunto Adi Wibowo dkk antara lain menulis, sistem penyiaran di Indonesia bersifat sentralistis. Sepuluh stasiun televisi swasta besar yang memiliki hak siar nasional berada di Jakarta dan melakukan siaran dari Jakarta.Â
Liputan media massa besar di tanah air kita hanya berkutat pada wilayah Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Akibatnya, peliputan daerah jadi hal langka.Â
Dampak lain adalah meluasnya budaya metropolitan ke aneka pelosok tanah air tanpa permisi. Sinetron dengan latar belakang keluarga menengah ke atas merajai layar-layar televisi. Akibatnya, penonton dicekoki gambaran yang kurang-lebih tunggal: keluarga ala metropolitan.
Pesona budaya dan dinamika daerah-daerah di Indonesia menjadi tersisihkan akibat minimnya peliputan media arus utama.Â
Kiranya apa yang terjadi di ranah pertelevisian juga terjadi di ranah media cetak, baik cetak maupun daring. Gejala jakartasentrisme juga terjadi karena nyatanya pembahasan media massa lebih berkisar pada kejadian yang terjadi di ibu kota Jakarta dan kota-kota sekelilingnya.
Pengamatan dari Google Tren