"Iya, Mas Yohan. Beginilah keadaan ayah dan keluarga kami. Kami hanya berdua saja di pondok ini. Kalau genteng bocor, saya yang perbaiki. Perempuan tapi kadang harus kerjakan pekerjaan laki-laki," tutur Nisa.
Aku terdiam sejenak. Tak tahu harus berkata apa. Dalam hatiku, bertambah kekagumanku akan sosok Annisa. Gadis berbudi luhur yang berbakti pada ayah tercinta.
*
Semakin lama, aku makin merasa cocok bekerja sama dengan Annisa di puskesmas desa. Tanpa aku minta, dia mengerjakan bagian tugasnya sebagai perawat. Ini membuat pekerjaan yang berat terasa lebih ringan.
Suatu senja, sepulang kerja, aku dan Nisa berjalan menyusuri tepian sungai.Â
“Nisa, ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu," kataku memecah ketenangan senja di tepi sungai kala itu.
"Jujur. Sejak hari pertama aku melihatmu, ada perasaan khusus di hatiku tentangmu," tuturku.
Nisa tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang.Â
"Emm..terima kasih atas kejujuran Mas Yohan. Sebenarnya Nisa juga menyimpan perasaan yang sama. Hanya...," jawabnya tanpa menyelesaikan kalimat.
"Hanya apa, Nisa? Katakan saja. Aku siap mendengar jawaban apa pun juga," desakku.
"Hanya saja...kita beda, Mas," jawabnya jujur.