Banjir dari hulu membuat kapal kayu yang kunaiki berjalan lambat. Kata temanku, rute Tarakan ke Long Beruh biasanya empat jam. Kali ini molor dua jam. Tak mengapa.
Beda dengan suasana ibu kota yang harus serba tepat waktu, suasana Borneo jauh lebih santai. Lebih tepatnya, mengalir saja seperti sungai. Itulah mengapa aku sama sekali tak menyesal meski harus meninggalkan pekerjaan awalku di kota metropolitan. Penghasilanku memang besar. Terang saja, pasien-pasienku dari kalangan atas.
Setelah dua tahun bergelimang materi, aku mulai bertanya pada diriku sendiri: inikah satu-satunya yang kucari sebagai dokter? Ternyata tidak. Aku ingin mengabdikan ilmuku untuk mengobati orang-orang miskin. Karena itu, begitu mendengar adanya lowongan dokter di pedalaman Borneo, aku segera mendaftarkan diri.
Sampai juga aku di dermaga Long Beruh. “Selamat datang, Dokter Yohanes,” sapa seorang gadis berjilbab.
Kuarahkan pandanganku padanya. “Kalau tidak keliru, ini Mbak Annisa, ya”, sahutku. “Iya, Dok. Panggil saja saya Nisa,” jawabnya.
“Oke. Kalau tidak di hadapan pasien, panggil saya Mas Yohan saja. Jangan panggil saya Dok,” kataku. Nisa tersenyum simpul.
Nisa mengantarku ke rumah dinas dokter di samping puskesmas. “Maaf, Dok. Kemarin kamar sudah saya rapikan, tapi belum bersih benar. Kalau Dokter perlu sesuatu, datang saja ke pondok saya,” katanya sambil menunjuk rumah panggung di ujung jalan kampung.
*
Hari pertamaku benar-benar melelahkan. Pasien datang silih berganti. Maklumlah, sudah dua bulan dokter pendahuluku pergi. Dia tak tahan hidup di pelosok, begitu kata Nisa. Selepas sang dokter pergi, tinggallah Nisa seorang diri merawat pasien dengan peralatan seadanya.
Yang membuatku kagum, Nisa tak banyak mengeluh. Dengan tulus, dia mengobati pasien yang sebagian besar orang bersahaja.
Tak canggung ia menyentuh pasien yang kelihatan kumal. Entah mengapa, saat melihat Nisa merawat pasien, mendadak aku ingat pada Ibu Teresa dari Kalkuta, santa idolaku.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!