Mukjizat pertobatan seseorang sebagai buah doa pada perantaraan (calon) orang kudus tidak bisa dijadikan mukjizat untuk menjadikan seorang hamba Allah sebagai beato/a atau menjadikan seorang beato/beata menjadi santo/santa. Sebabnya, pertobatan itu bisa berubah (sangat dinamis) dan "sulit dibuktikan."
Kanonisasi: Tahap Akhir
Tahap terakhir adalah kanonisasi. Kanonisasi berasal dari kata Latin canon (daftar). Artinya pengakuan Gereja bahwa seorang pasti sudah berbahagia di surga dan mampu menjadi pengantara doa.Â
Pengakuan ini bersifat tidak dapat keliru (infallible). Gereja mensyaratkan terjadinya dua mukjizat atas perantaraan calon santo atau santa demi sahnya kanonisasi.Â
Tentu pengecualian dimungkinkan bila Sri Paus menetapkan bahwa cukup satu mukjizat untuk calon santo atau santa tertentu karena kesucian calon santo atau santa yang terbukti berpengaruh positif bagi umat.Â
Contohnya, Paus Fransiskus menyatakan beato Paus Yohanes XXIII sebagai santo tanpa menanti mukjizat kedua karena banyaknya laporan pengabulan doa berkat perantaraan Paus Yohanes XXIII dari seluruh penjuru dunia.
Gereja-gereja paroki dapat menggunakan nama santo-santa (bukan beato-beata) sebagai pelindung.
Nah, coba Anda ingat-ingat, apa nama-nama gereja Katolik di kota tempat Anda tinggal atau bekerja? Lazimnya diambil dari nama santo atau santa. Misalnya: Paroki Santa Monika; Paroki Santo Andreas.
Santo-Santa "Kuno" atau Prakongregasi
Penting diketahui bahwa banyak santo-santa sudah diakui Gereja bertahun-tahun sebelum dibentuknya Congregatio de Causis Sanctorum yang bertugas menyelenggarakan beatifikasi dan kanonisasi.Â
Kongregasi Para Kudus ini dibentuk pada tanggal 22 Januari 1588 oleh Paus Sixtus V sebagai Congregation of Rites. Proses beatifikasi dan kanonisasi yang cukup panjang di atas tidak diterapkan bagi santo-santa tersebut.Â