Dalam Gereja Katolik, ada beberapa langkah untuk menyatakan seseorang sebagai seorang santo atau santa. Langkah-langkah tersebut ditandai dengan pemberian gelar secara bertahap:
1) hamba Tuhan (servus dei), 2) yang dimuliakan (venerabilis), 3) beato atau beata, dan 4) santo atau santa.
Tidak semua orang kudus sampai pada tahap santo atau santa. Sebabnya macam-macam, mulai dari tiadanya/kurangnya mukjizat (medis) dan kurangnya upaya untuk melanjutkan proses beatifikasi dan kanonisasi.
Beatifikasi dan Kanonisasi
Tidak mungkin membahas semua tahap dalam sebuah artikel singkat. Karena itu, kita akan membahas dua tahap terakhir, yakni beatifikasi dan kanonisasi.
Beatifikasi berasal dari dua kata Latin: beatus (terberkati) dan facere (menjadikan). Artinya Gereja mengakui bahwa kita dapat percaya bahwa sang hamba Tuhan (servus dei) berada di surga dan mampu menjadi pengantara doa.
Sejak tahun 1983, Gereja mensyaratkan terjadinya satu mukjizat atas perantaraan calon beato atau beata demi sahnya beatifikasi. Syarat “satu mukjizat” ini tidak berlaku bagi calon beato atau beata yang wafat sebagai martir (saksi iman).
Peringatan liturgi untuk beato atau beata berlaku lokal (di keuskupan, kongregasi, atau tempat tertentu). Lazimnya gereja-gereja paroki tidak menjadikan nama beato-beata sebagai pelindung.
Kriteria Mukjizat
Mukjizat adalah bukti akan "kemampuan" sang calon beato atau beata untuk menjadi perantara doa kepada Allah. Mukjizat yang dijadikan bukti biasanya adalah mukjizat penyembuhan berkat perantaraan calon beato-beata.
Mukjizat itu harus dibuktikan dengan catatan medis si sakit sebelum dan sesudah mukjizat penyembuhan terjadi. Kesembuhan juga harus terjadi secara instan, bertahan lama, dan tidak dapat dijelaskan secara medis.