Entah kebetulan atau tidak, lokasi itu hanya berjarak sekitar seratus kilometer atau dua jam perjalanan mobil dari Trowulan, pusat Kerajaan Majapahit.Â
Bagaimana Menanggapi Klaim Negara Lain?
Seandainya ada negara lain yang masih mengklaim batik sebagai produk budaya mereka, bagaimana seharusnya kita menanggapi? Pada hemat saya, cara menanggapinya sangat sederhana.
Tanya saja, apakah ada kata dalam bahasa mereka yang bisa menjelaskan asal kata batik. Lantas, apakah ada produk budaya mereka yang dinamai (mirip) batik sejak dahulu kala. Lalu tanyakan pula, apakah ada nama daerah di negara  mereka yang bisa menjelaskan asal kata serupa batik, misalnya kata tritik yang sudah masuk kamus Cambridge.
Berdasarkan hasil penelusuran sederhana ini saja, saya berani bertaruh bahwa penamaan batik memang terkait erat dengan kata ambatik dan atau tritik, dua kata bahasa Jawa, yang didukung produk budaya dan nama lokasi yang masih lestari hingga kini.
UNESCO saja mengakui bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia. Masih ada negara lain yang berani mendaku batik sebagai miliknya? Tak semudah itu, Ferguso! Akan tetapi, tidak perlu kita merundung negara lain secara daring maupun luring. Biarlah diskusi ilmiah yang jadi pedoman kita.
Pernyataan Sanggahan (Disclaimer)
Penulis hanya warga biasa, bukan ahli (sejarah) batik dan bukan pula ahli bahasa. Artikel bersahaja ini penulis harapkan menjadi pemantik diskusi ilmiah. Saya undang para pemerhati sejarah dan bahasa untuk mengulas sejarah batik. Akan jadi menarik bila ahli arkeologi Nusantara ikut membahas topik ini.Â
Salam cinta budaya! Salam cinta batik Indonesia! Matur nuwun (Terima kasih).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H