Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Mengulik 3 Etika Mengajak Orang Gabung ke Grup WhatsApp, Telegram, dan Sejenisnya

22 September 2020   06:33 Diperbarui: 22 September 2020   20:20 6406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aplikasi perpesanan - pexels.com

Adanya aplikasi perpesanan semacam WhatsApp, Telegram, dan "sahabat-sahabatnya" memang sangat memudahkan kita. 

Sayangnya, menjamurnya aneka aplikasi canggih itu seringkali tak diimbangi dengan etika penggunaan yang disepakati dan dipahami pengguna.

Masalah utamanya, penggunaan gawai dan aplikasi memang menimbulkan gegar budaya. Kita sejatinya tidak pernah disiapkan secara formal untuk menjadi pengguna teknologi yang baik. Setakat ini, belum ada materi pelajaran bertajuk "Etika Digital" dalam kurikulum kita.

Tiadanya lembaga dan pendidikan formal yang menyusun "kurikulum etika digital" membuat kita hanya bisa mengimajinasikan adanya "kesepakatan etis" yang sewajarnya ditaati para pengguna gawai. 

Etika mengajak orang gabung ke grup WhatsApp, misalnya, memang tidak ada secara formal. Akan tetapi, berdasarkan etika perilaku yang wajar, kita dapat merangkai semacam "kesepakatan etis" untuk kita taati bersama.

Hal-hal semacam ini tidak dapat kita temukan dalam jurnal ilmiah yang ada di mesin peramban semacam Google sekalipun. 

Orang dewasa, pendidik, dan pemuka agama serta masyarakat wargalah yang sewajarnya menjadi subjek yang merancang "etika digital" ini dan mengajarkannya pada generasi muda dalam lingkup keluarga dan sekolah.

Jengkel Saat Dijadikan Anggota Grup secara Paksa

Saya sempat jengkel ketika dijadikan anggota grup sebuah aplikasi perpesanan tanpa persetujuan saya. Orang yang menambahkan saya tak pernah meminta izin atau setidaknya memberitahu saya.

Saya segera meninggalkan grup itu tanpa pamit. Suatu reaksi yang wajar. Setidaknya menurut saya sendiri. Saya dijadikan anggota secara paksa. Bukan kehendak saya masuk ke grup itu. 

Bahagia Ketika Diundang Masuk Grup

Baru-baru ini, beberapa rekan penulis di Kompasiana mengajak saya bergabung ke sebuah grup. Dengan santun, rekan-rekan Kompasianer menawarkan undangan masuk grup. 

Karena undangan itu disampaikan secara sopan, saya akhirnya menerimanya. Ternyata grup itu super heboh menyambut para anggota baru. Ratusan pesan sapaan dan candaan segera memenuhi grup. Meskipun memori ponsel saya segera penuh, saya tak menyesal bergabung dengan grup itu.

Tiga Usulan Etika Mengajak Orang Masuk Grup WhatsApp

Pengalaman sederhana di atas membuat saya berpikir soal pentingnya merancang "etika mengajak orang masuk grup WhatsApp, Telegram, dan sejenisnya."

Saya hanyalah seorang pengguna. Ada jutaan, bahkan mungkin miliaran orang yang juga menggunakan aneka aplikasi perpesanan seperti WA dan Telegram. Saya tidak punya otoritas apa pun untuk menentukan "etika grup WA".

Akan tetapi, tak ada salahnya mengusulkan "etika mengundang orang ikut grup WhatsApp, Telegram, dan sejenisnya". Nah, berikut ini adalah usulan saya:


1. Sadari bahwa nomor telepon adalah hak privasi seseorang

Nomor telepon seseorang adalah hak privasi orang tersebut. Hal ini sudah dijadikan bagian hukum perlindungan data pribadi di Eropa Barat. Kiranya, Indonesia pun perlu mengarah ke perlindungan data pribadi, termasuk nomor telepon.

Hanya orang yang bersangkutan yang dalam kondisi wajar (bukan darurat dan bukan dalam penyelidikan hukum) berhak memberitahukan nomor teleponnya. 

Konsekuensinya, kita harus meminta izin pada yang bersangkutan sebelum membagikan nomor teleponnya pada orang lain. Lebih-lebih, kepada orang yang bukan anggota kerabatnya dan bukan pula "orang dekatnya".

Menjadikan seseorang anggota grup tanpa izin yang bersangkutan berarti mengungkapkan nomor teleponnya ke publik. Ini adalah pelanggaran privasi yang cukup serius.

Seseorang mungkin bisa sangat terganggu ketika nomor teleponnya diumbar ke publik sehingga ia menerima tawaran iklan dan gangguan yang tidak ia kehendaki.

Seseorang mungkin saja sangat sibuk sehingga tak punya waktu untuk "grup receh". Atau, ia memang bukan tipe orang yang suka heboh-hebohan di grup. Ia mungkin lebih suka "japri" secara intensif alih-alih aktif di grup.

2. Selalu minta izin dahulu atau setidaknya memberitahu

Hendaknya selalu meminta izin dahulu pada yang bersangkutan mengenai undangan digabungkan ke grup WA atau Telegram dan sejenisnya. Jelaskan secara gamblang tujuan grup itu dan juga siapa saja yang ada di dalamnya. 

Terkadang, grup juga hanya bertujuan pendek. Misalnya, untuk memudahkan penyelenggaraan suatu webinar. Jika acara itu sudah usai, bisa saja grup itu dibubarkan.

Dalam keadaan tertentu, mungkin kita tak sempat meminta izin. Misalnya, keadaan darurat atau saat kita merasa cukup yakin bahwa yang bersangkutan tidak keberatan secara serius.

Dalam situasi ini, setidaknya kita perlu memberitahu yang bersangkutan bahwa ia sudah digabungkan ke grup WA dan sejenisnya. Sampaikan permohonan maaf dan penjelasan yang memadai agar ia mengerti.

3. Menjelaskan aturan main grup

Setiap grup sebaiknya ada pengatur (admin) dan ada aturan mainnya. Misalnya, dilarang mengunggah iklan tanpa seizin admin grup. Atau, hanya boleh membahas topik spesifik grup dan tidak memberi toleransi pada topik lain.

Jika di antara peserta ingin menyampaikan hal di luar topik grup, bisa mengontak secara pribadi atau membuat grup lain.

Hal-hal mendasar ini perlu dijelaskan pada tiap anggota baru. Tentu, aturan "kaku" ini berlaku terutama bagi grup formal semacam grup profesi. Bukan grup keluarga atau sahabat yang lebih "cair" dan "santai".

Akhirulkalam

Wasana kata, tiga hal di atas hanyalah rintisan dan usulan "etika mengundang orang jadi anggota grup WhatsApp dan sejenisnya". Pada intinya, kita diajak memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan cinta kasih tulus. Ini berlaku di dalam maupun di luar jaringan (daring dan luring).

Pembaca budiman sila memberikan komentar dan usulan yang akan menambah hangat diskusi santai kita ini. Salam cerdas bermedia!

(Penulis anggota Kompasianer Penulis Berbalas)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun