Dalam ilmu psikologi, pengungkapan kegelisahan diri ini disebut katarsis. Katarsis adalah proses melampiaskan agresi sebagai cara untuk melepaskan emosi. Pernahkah Anda begitu marah sehingga Anda pergi keluar dan berteriak? Hal ini mungkin membuat Anda merasa lebih lega.Â
Aristoteles mendefinisikan katarsis sebagai "pembersihan semangat atau emosi yang tidak wajar dengan menyaksikan permainan emosi atau gagasan semacam itu di atas panggung" (Aristoteles, 2001). Schultz dan Schultz (2004) menakrifkan katarsis sebagai "proses mengurangi atau menghilangkan kompleks dengan mengingatnya kembali ke kesadaran dan membiarkannya diekspresikan".
Jika Anda merasa tertekan, ungkapkan perasaan itu dalam puisi atau cerpen. Kemungkinan besar, Anda akan merasa lebih lega setelah mengungkapkannya dalam karya fiksi. Tambahkan hasil permenungan mengenai situasi atau perasaan yang sedang Anda alami agar pembaca dapat memetik pula hikmahnya.
3. Memperkaya perbendaharaan kata
Tahukah Anda berapa jumlah lema dalam kamus bahasa Indonesia? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima memuat 127.036 lema dan makna. Â
Bahasa Indonesia amat kaya akan kosakata yang berasal dari aneka bahasa asing dan daerah. Sebagian (besar) kosakata itu hanya bisa dikuasai jika seseorang gemar membaca dan menulis.Â
Seorang penulis puisi, misalnya, akan berusaha memperindah karyanya dengan menggunakan kata-kata indah dan arkaik. Ia tidak puas dengan kata-kata banal semacam senja, hujan, cinta, dan kopi. Ia berupaya mencari padanan kata melalui kamus dan tesaurus. Sila klik KBBI daring dan Tesaurus daring ini.
4. Menyajikan Hal Sensitif secara Cerdik
Ada beberapa alasan yang menjadikan suatu hal terlalu sensitif untuk diungkapkan begitu saja dalam bentuk opini atau berita. Antara lain, 1) pengalaman traumatis; 2) rahasia pribadi; dan 3) kritik (sosial).
Hal-hal sensitif itu dapat kita ungkapkan secara cerdik melalui puisi, cerpen, novel, dan sebagainya. Tujuannya adalah menyampaikan sesuatu tanpa harus menyakiti atau merasa tertekan.
Untuk mengkritik diktator, para sastrawan menggunakan tulisan fiksi. Diktator dijadikan salah satu tokoh dalam karya fiksi itu. Pembaca yang jeli akan menangkap kritik (sosial) yang disampaikan penulis lewat karya fiksinya.