Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Istri Tersayang dan Klakson Malam

1 September 2020   12:04 Diperbarui: 1 September 2020   12:03 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari pexels.com

Satu September. Dua puluh tahun lalu, janur kuning melambai-lambai ditiup angin. Si jomlo lulusan SMK ini akhirnya mempersunting gadis rupawan. Tetangga satu desa. 

Sempat aku satu sekolah dengannya. Aku kakak kelasnya. Cuma empat tahun kami sempat bersua di sekolah dasar negeri dengan atap yang setia membiarkan air hujan membasahi meja dan kursi. 

Dia pindah sekolah. Mengikuti bapak-ibunya ke Sumatera sana. Transmigrasi. Menjemput mimpi. Mungkin lebih tepatnya, menaati pemimpin negeri yang tersohor dengan senyum manisnya di lembaran uang.

Senyuman yang belakangan baru aku tahu menyimpan jutaan memori kelam. Ah, sudahlah. Masa itu sudah lewat. Lebih baik membahas senyum manis istriku. Senyuman yang memesona laki-laki. Juga yang sudah beristri. 

"Duh, ayune...," komentar orang-orang ketika melihat gadis itu pulang kembali ke desa setelah orang tuanya sukses namun akhirnya bosan tinggal di perantauan.

Aku tak tahu, mengapa dia memilih aku. Bukan siapa-siapa. Hanya tamatan sekolah kejuruan pertukangan kayu. Karena kayu, kami bertemu.

Aku kala itu mengantar gebyok pesanan ayahnya. Waktu itu gebyok itu tak sempurna. Wajar saja, ayahnya berkata, "Mas, saged sampeyan garap malih gebyokipun? Dereng alus." Aku merasa terhormat. Sebab ayahnya bercakap dengan krama inggil. Padahal, jelas aku lebih muda.

Ya. Kuakui gebyok itu kukerjakan agak tergesa-gesa. Sambil mengejar target pesanan Pak Kades. Akhirnya aku membawa kembali hasil karyaku. Setelah dua hari kuperbaiki, kubawa lagi. 

Kala itu, ayah dan ibunya sedang tak di rumah. Gadis itulah yang menyambutku. Ia memuji ketelatenanku memperhalus garapan gebyok pesanan ayahnya. 

Saat aku pamit, ia mencegahku. "Mas, kenapa buru-buru pulang, minum dulu. Aku buatkan teh, ya."

Dan obrolan kami berlanjut hingga malam agak larut. Untunglah, aku waktu itu masih sadar waktu. Pamit pada waktu yang masih wajar untuk bertamu.

*

Kedekatanku dengan keluarganya makin terjalin setelah ayahnya makin sering memesan mebel buatanku. Ternyata sang ayah punya kawan-kawan penggemar mebel dari luar Jawa yang rela merogoh kocek dalam-dalam. 

Jadilah aku sebagai pemasok stok mebel untuk ayahnya. Bukan cuma karena kualitas kerjaku. Juga karena iba padaku. Aku yang yatim piatu namun gigih berjuang mencari nafkah dengan apa yang aku bisa. 

Usaha mebel itu perlahan makin maju. Meningkatkan ekonomi keluarganya dan juga ekonomiku.

Witing tresna jalaran saka kulina. Karena sering jumpa, mekarlah cinta. 

Meski sempat ragu, aku berani juga melamar gadis itu. Rupanya bukan rupa yang ia cari. Orang tuanya pun merestui hubungan kami. Jadilah janur kuning melengkung. 

Setelah menikah, kami pindah. Meninggalkan desa di tepi jalan raya Jogja-Purworejo itu. Menjemput mimpi. Menjadi pengusaha mebel sukses di kota. Tak jauh-jauh. Di Kota Lumpia.

Toko kami sedikit di pinggir kota. Meski begitu, pembeli tetap berdatangan. Barang bermutu memang akan selalu dicari. 

Meski hingga kini belum juga hadir buah hati, aku dan istriku tak merasa kurang bahagia. Kami sepakat membantu sebuah panti asuhan. 

Keadaan serba menyenangkan rupanya tak berlangsung lama.

Dua tahun lalu, mertuaku berpulang. Pertama, ibu. Disusul ayah yang makin sakit parah. Jadilah aku dan istriku yatim-piatu. 

Tahun lalu, satu musibah menimpa toko mebel kami. Entah dari mana, api menyala. Menyambar semua yang ada dan mengubahnya jadi abu. 

Celakanya, uang hasil penjualan tak dapat aku selamatkan. Padahal, besoknya akan kusetor ke bank. 

Untung saja, api tak sempat menjalar ke rumah kami yang hanya berjarak beberapa langkah di belakang toko.

*

Mentari telah pulang ke peraduannya. Aku menerawang mengenang hari sial itu. Kala toko mebel kami terbakar.

Saat aku sedang asyik melamun, terdengar suara klakson dari jalan di depan puing-puing toko mebel kami. Sebuah mobil sedan mewah. Seorang lelaki membuka separuh kaca depan mobilnya. Menengok ke rumah kami dengan tatapan liarnya.

"Mas, aku pamit," kata istriku yang justru makin cantik ketika usianya makin bertambah. Polesan lipstik tipis membuatnya makin memesona.

Klakson itu telah ia nantikan sejak tadi.

"Makan malam untuk Mas sudah aku siapkan," katanya lembut sembari mendorong kursi rodaku ke ruang makan.

Ya, ketika aku hendak menyelamatkan uang dari kobaran api, aku terjatuh. Beruntung, nyawaku masih bisa diselamatkan. Istrikulah yang menarik aku keluar dari kobaran api. Api jahanam yang membuat kedua kakiku lumpuh.

*

"Mas, aku sayang Mas melebihi siapa pun. Mas tahu, aku lakukan ini juga demi Mas," tutur istriku sambil mencium tanganku. 

Aku berusaha tak menangis meski hatiku perih. Tak bisa menerima kepahitan hidup. Istri tersayangku tiap akhir pekan melewatkan malam bersama pria yang membunyikan klakson itu. Beberapa lembar ratusan ribu akan mengisi saku istriku. Menyambung hidupnya dan hidupku.

Aku setel radio keras-keras. Berharap agar lagu-lagu cinta mengusir bunyi klakson yang terus saja aku dengar dalam kepalaku.

*** Tamat***

 (Kisah fiktif belaka. Terinspirasi sebuah cerpen yang pernah penulis baca bertahun silam. Jika pembaca mengenali judul dan pengarang cerpen yang jadi inspirasi cerpen ini, mohon informasikan pada Ruang Berbagi.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun