Semangat Gotong-Royong
Salah satu keutamaan bangsa Indonesia adalah praktik gotong-royong. Semangat gotong-royong ini memiliki aneka nama sesuai bahasa daerah di Nusantara.
Masyarakat Minahasa menyebutnya dengan istilah mapalus. Menurut Meldy Elshaday Lumantow, dkk budaya mapalus adalah sistem kerja sama yang didasarkan pada falsafah hidup orang Minahasa. Menurut Dr. Sam Ratulangi, falsafah itu adalah “si tou timou tumou tou " atau "manusia hidup untuk menghidupkan manusia lain”.
Warga Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur mengenal istilah gugur gunung dan sambatan. Menurut rekan Kompasianer Bambang Setyawan, para warga Jawa yang merantau ke seantero Nusantara membawa semangat gugur gunung ini ke mana pun mereka berada.
Warga Bali menyebut gotong-royong dengan istilah ngayah. Orang Batak Toba mengadakan siadapari. Warga Padang Pariaman menyelenggarakan hoyak tabuik.
Masyarakat Dayak yang terdiri dari aneka suku dan sub-suku juga mengenal aneka istilah gotong-royong. Misalnya, Suku Dayak Lundayeh yang tinggal di kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara menyebut gotong-royong dalam bertani dengan istilah paleo.
Demikian pula warga di kampung Ibu Kiir memiliki semangat gotong-royong yang kuat. Mereka bahu-membahu melibatkan diri dalam renovasi pondok Ibu Kiir.
Suster Sari, biarawati anggota kongregasi para suster Penyelenggaraan Ilahi, menjelaskan bagaimana indahnya gotong-royong yang terjalin di antara warga yang beraneka agama. Pengerjaan renovasi rumah ini dipenggawai oleh adik Ibu Kiir.
Berkat gotong-royong banyak pihak, Ibu Kiir kini tinggal di rumah barunya yang terbuat dari cinta. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya dan dari para malaikat kasat mata pembawa cinta tulus pada sesama manusia.
Kiprah Pemerhati Kaum Sederhana