Bronto anak rantau yang baru datang tiga hari di Jogja. Dia bahagia sekali bisa mulai kuliah di YuJiEm, sebuah kampus ternama di Kota Pelajar. Ia mantap memilih Fakultas Hukum. Jadi ketika ditanya orang, dia akan bisa berkata, "Aku di hukum".
Ketika di kampung, Emaknya tanya padanya: "Nak, kenapa pula kau ini ingin belajar hukum?Â
Bronto menjawab: "Mak, aku ingin jadi pengacara terkenal seperti Siraja Cincin itu. Aku lihat channel YouTubenya Siraja Cincin, dia suka nolong orang susah di warung kopi. Siraja Cincin itu tajir melintir, Mak. Channelnya aku suka sekali. Bermanfaat dan inspiratif."
Si Mak mengangguk-angguk, lantas berkata,"Bagus sekali itu cita-citamu, Nak. Semoga kau jadi pembawa acara sukses, ya Nak" Bronto terharu tapi juga tersenyum. "Mak, aku ingin jadi pengacara, bukan pembawa acara."Â
Si Mak menanggapi,"Oh, kukira sama saja. Ya baiklah. Selamat jalan ke Jogja. Salam untuk Pak Sultan, ya!".Â
Doa Emak membuat Bronto semangat datang ke Jogja. Dia segera meminjam motor teman kosnya untuk mulai mengenal kota berhati nyaman itu. Temannya sudah memberi informasi soal warung kopi paling enak. Agak jauh ke arah utara sana.Â
Bronto pun berangkat Sudah setengah jam menyusuri jalan lingkar, ia baru sadar, hapenya tertinggal di kos. Mau pulang ke kos, sudah telanjur jalan jauh. Peluang cek peta onlen pun tiada. Terpaksa tanya arah pada warga.
"Pak, Jalan Kaliudang itu masih jauh ya?" tanya Bronto pada seorang penarik becak.
"O tidak jauh, Mas. Jalan lurus saja, nanti ada bang jo terus ke utara," jawab Pak Becak. Bronto mengangguk-angguk padahal tidak ngerti. Ia melaju lurus sesuai petunjuk Pak Becak.Â
Sepanjang jalan Bronto tengok kanan-kiri. Mencari Bang Jo yang dikatakan Pak Becak tadi. "Bang Jo itu nama bank atau apa sih? Mungkin maksud Pak Becak itu singkatan Bank Jogja, ya?," gumam Bronto.
Karena tak ketemu, ia bertanya lagi pada seorang nenek yang sedang naik sepeda tua.
"Maaf Nek, saya cari Bang Jo kok tidak ketemu ya? Di mana Bang Jo itu?" selidiknya.
"Oh..Masnya cari bang jo. Lha itu di depan ada bang jo," jawab si nenek sambil menunjuk ke arah perempatan.
"Mana, Nek? Itu perempatan. Tidak ada tulisan Bang Jo," kata Bronto.
"O alah Mas..ya itu bang jo di perempatan. Yang nyala abang, ijo, kuning itu lho...," jelas sang Nenek.
Bronto tersenyum kecut. "O jadi Bang Jo itu lampu traffic lights, ya Nek?"
Si Nenek bengong. "Masnya ngomong opo to, aku ora mudheng. Bang jo ya bang jo. Abang njur dadi ijo. Merah terus jadi hijau."
Bronto manggut-manggut. Tapi ia masih punya satu pertanyaan tersisa:
"Nek, utara itu sebelah mana? Kok saya jadi bingung, ya di Jogja ini?"
"O alah Mas. Dadi wong ki mbok sing solutip...Di Jogja ndak usah bingung cari utara. Tinggal lihat Gunung Merapi, ya itu pasti utara," terang si Nenek.
Lagi-lagi Bronto tersenyum. Ternyata orang Jogja memang solutif dan istimewa. Tak perlu Gugel Maap. Cuma sebut bang jo dan lihat Gunung Merapi, urusan cari alamat selesai. Sesederhana itu.Â
"Jogja..Jogja..kamu memang istimewa dan buat aku jatuh cinta," bisik spontan Bronto.
"Heh...lagek wae ketemu kok wes jatuh cinta. Wong kenthir...isih enom le jatuh cinta kok karo mbah tuwo..." celetuk si Nenek sambil cepat-cepat mendayung sepedanya. Meninggalkan Bronto yang melongo.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H