Penulis: Bobby Steven Octavianus Timmerman
Saya merasa sangat beruntung bisa mengikuti acara webinar Ngopi Bareng Suster PI yang mengulik kiprah para suster biarawati Penyelenggaraan Ilahi (PI) bagi bangsa. Acara dalam rangka menyemarakkan peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia.
Salah seorang narasumber adalah Suster Laurentina PI. Suster Laurentina dijuluki sebagai "suster kargo". Mengapa demikian? Bukankah mustahil seorang biarawati menjadi pengusaha kargo?
Ternyata, julukan "suster kargo" yang disematkan kepada biarawati kelahiran Temanggung, Jawa Tengah ini sama sekali jauh dari urusan bisnis. Alih-alih bisnis, julukan "Suster Kargo" itu justru menampilkan sisi tragis.
Suster Laurentina tergabung dalam pelayanan jenazah pekerja migran Indonesia yang tiba dalam kargo di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Selain Suster Laurentina sang "suster kargo", ada pula Pendeta Emmy Sahertian dan Pendeta Paoina Ngefak Bara Pa. Keduanya pendeta Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT). Kedua pendeta ini pun dijuluki "pendeta kargo". Mereka bertiga sejak tahun 2016 secara bersama atau bergantian merelakan diri jadi penjemput jenazah pekerja migran asal NTT di Bandara El Tari Kupang.
Kehadiran trio tim inti pelayanan kargo ini adalah wujud solidaritas pada pekerja migran asal NTT dan keluarga.Â
"Saya merasa bahwa penjemputan jenazah pekerja migran itu memartabatkan manusia. Manusia tidak dianggap seperti barang saja. Manusia yang sudah meninggal pun kita hargai sebagai manusia," ujar Suster Laurentina PI.Â
Pekerja Migran dan Kemiskinan di NTT
Menurut data yang dihimpun trio peduli pekerja migran NTT ini, hingga Juni 2020 telah diterima 31 jenazah pekerja migran asal NTT. Sejak 2017, Suster Laurentina telah ikut mengurus 300 jenazah pekerja migran asal NTT.
Dalam wawancara dengan Narasi, Pendeta Emmy Sahertian mengatakan, banyaknya pekerja migran asal NTT dipicu antara lain oleh masih tingginya angka kemiskinan di perdesaan NTT.
Sekadar informasi, menurut data BPS pada 2019, NTT memiliki jumlah persentase penduduk miskin 20, 62 persen. Angka ini menempatkan NTT pada posisi ketiga peringkat provinsi dengan persentase penduduk miskin terbanyak secara nasional, di bawah Papua (26,55 persen) dan Papua Barat (21,51 persen).
Kantong-kantong kemiskinan, utamanya di perdesaan NTT, menjadi daerah rawan praktik perdagangan manusia. Menurut Pendeta Emmy, persoalan kemiskinan ini berkelindan juga dengan persoalan soal tanah.Â
Hanya lima persen masyarakat di perdesaan memiliki tanah sendiri. Kadang tanah itu bukan milik sendiri dan kadang bukan pula tanah produktif. Ini memicu warga untuk merantau sampai ke luar negeri demi mencari penghasilan.Â
Melawan Jaringan Mafia dengan Berjejaring
Dalam webinar, Suster Laurentina PI menjelaskan bahwa praktik perdagangan manusia terhadap pekerja migran di NTT adalah praktik yang dilakukan oleh jaringan ala mafia.
Sang ketua Yayasan Sosial Penyelenggaran Ilahi ini menandaskan pentingnya membangun jaringan untuk melawan jaringan mafia perdagangan manusia di NTT.
"Memerangi perdagangan manusia adalah pekerjaan raksasa. Sindikat perdagangan manusia itu sangat kuat. Mereka juga sampai ke tingkat desa. Karena itu, kita harus berjejaring dengan pihak-pihak lain hingga ke tingkat bawah. Saya berjejaring dengan pemerintah, para pemuka agama, kelompok pemuda, dan sebagainya," ungkap biarawati Katolik tersebut.
Cara Kerja Sidikat Perdagangan Manusia di NTT
Menurut Suster Laurentina PI, sindikat memperdaya warga sederhana untuk jadi pekerja migran. Ada dua tawaran menarik yang sindikat sampaikan kepada para calon korban.
Pertama, iming-iming beasiswa. Para korban dijanjikan akan mendapat beasiswa pendidikan di luar daerah atau di luar negeri.Â
Kedua, iming-iming gaji besar dan kerja enak. Alih-alih mendapat gaji besar, sebagian pekerja migran justru dipaksa bekerja secara tidak manusiawi, bahkan sampai meninggal dunia.
"Saya dan rekan-rekan melawan janji palsu sindikat ini dengan mengadakan edukasi kepada kaum muda, baik yang tergabung dalam kelompok keagamaan maupun kelompok pemuda desa. Kami selalu katakan: Jangan mudah percaya pada janji-janji manis sindikat itu," ujar Suster Laurentina.
Tim pendampingan pekerja migran juga mendorong warga agar memiliki usaha produktif untuk meningkatkan perekonomian.
Pengalaman Mencari Keluarga Pekerja Migran
Suster Laurentina mengatakan bahwa beberapa jenazah tiba tanpa disertai alamat tujuan yang jelas. Karena itu, tim kargo perlu menggali informasi agar jenazah bisa tiba di kampung asal. Untungnya, nama pribadi warga NTT umumnya menunjukkan daerah atau kampung asalnya. Ditilik dari nama jenazah, "tim kargo" dapat melacak asal kampung para pekerja migran.
Medan berat mesti ditempuh tim kargo untuk mencapai kampung-kampung seantero NTT. Meski demikian, Suster Laurentina tak lantas menyerah. Ia tetap bersemangat menjalankan pelayanan dalam upaya antiperdagangan manusia yang telah ia geluti sejak 2012 hingga sekarang.Â
Di tingkat nasional, Suster Laurentina menjadi penggawa dalam Badan Pengurus Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran Perantau Konferensi Waligereja Indonesia (KKPPMP-KWI) 2018-2021.
Suster Laurentina PI rupanya berulang tahun pada 23 Agustus, hari ini. Beliau adalah juga penulis di Kompasiana dengan akun ini. Sila klik untuk menyapa beliau di kolom komentar artikel-artikel beliau. Kita doakan beliau agar selalu sehat dan dilindungi Tuhan Yang Maha Esa. Maju terus karya pelayanan tim kargo dan juga para suster kongregasi Penyelenggaraan Ilahi (PI) atau Divina Providencia. Salam.
Pojok baca:Â 1, 2, 3 . Sila bagikan artikel ini jika dipandang bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H