Baru saja aku akhiri panggilan telepon, detak jantung suamiku makin lemah. Sang perawat bergegas memanggil dokter jaga. Sementara itu, dengan tangan tengadah, aku berdoa.
"Ya Tuhan, kasihanilah suamiku. Ampunilah dosa-dosanya. Aku yakin, di saat terakhir hidupnya, ia masih mendengar doa-doa dan ajakan tobat dariku.
Tak aku ingat lagi segala pengkhianatannya padaku. Sudah kumaafkan dia. Kepada kerahiman-Mu kupasrahkan suamiku."
Detak jantung suamiku makin jarang. Akan tetapi, wajahnya yang tadinya penuh beban berubah jadi lebih damai.
Hatiku damai kala melihat mukjizat terjadi pada detik-detik akhir hayat suamiku yang selalu kucintai, apa pun yang terjadi.
Air mataku kembali mengalir deras. Kali ini bukan lagi air mata duka, tapi air mata bahagia.
***
NB: Pernah dimuat di sebuah majalah kerohanian dengan nama pena.Â
Bila ada kesamaan nama tokoh dan peristiwa, kebetulan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H