Di sisi lain, sangat ganjil bahwa anggota DPR kita enggan membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. padahal, RUU ini bisa menjadi harapan baru bagi korban pelecehan seksual.Â
Sangat tidak masuk akal bahwa justru lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mati-matian membela perempuan dan anak korban pelecehan dan kejahatan seksual.
Sudah optimalkah upaya yang sudah dibuat pemerintah pusat dan daerah, kementerian negara, serta kepolisian negara dalam membantu korban kejahatan seksual?
LSM dan organisasi keagamaan serta relawan di akar rumput seolah dibiarkan berjuang sendirian, dengan sumber daya terbatas.Â
Negeri kita tak kekurangan orang baik. Negeri kita tak kekurangan orang pintar. Yang kurang adalah kehendak politik para petinggi negara untuk memihak korban kejahatan seksual.
Semestinya, dengan kemajuan teknologi dan SDM Indonesia, "layanan satu atap" secara daring dan luring demi membantu korban kejahatan seksual bisa dibuat.Â
Semestinya, anggaran negara dialokasikan untuk penanganan kejahatan seksual, yang makin merajalela di negara kita. Daring maupun luring.
Jika lembaga-lembaga swadaya warga saja mampu membuat hotline 24 jam dan menawarkan kanal-kanal media sosial yang mudah diakses korban kejahatan seksual, bukankah negara seharusnya bisa membuat langkah serupa?
Seandainya "lembaga payung" yang efektif ini sudah ada dan seandainya sistem hukum kita lebih memihak korban, kiranya para korban pelecehan seksual sang "dosen swinger" akan segera melapor.
Tidak akan lagi terjadi adanya ratusan korban yang enggan melapor selama 6 tahun. Tidak akan ada lagi ruang gerak bagi pelaku yang selama ini leluasa mencari korban baru tiap minggu!