Musisi Anji kembali menuai kontroversi. Belum lama ini, ia sempat membuat sebagian kalangan fotografer profesional tersinggung terkait komentarnya soal foto jenazah korban Covid-19 yang dibuat fotografer National Geographic.
Anji antara lain mempermasalahkan, bagaimana mungkin fotografer diizinkan memotret jenazah korban virus corona, sedangkan anggota keluarga saja sulit mengakses ruang jenazah. Komunitas fotografer lantas mengajak Anji berdiskusi mengenai prosedur kerja fotografer di tengah pandemi.Â
Baru-baru ini, Anji mengunggah video wawancara dengan Hadi Pranoto, yang ia panggil sebagai profesor. Sayang, video wawancara itu kini sudah tidak lagi ditemukan di kanal Dunia Manji.Â
Dalam transkrip wawancara yang beredar luas di media sosial, Hadi Pranoto mengungkapkan sejumlah pernyataan yang memuat aneka kejanggalan. Bahkan, sejumlah pernyataan sang "profesor" belakangan dapat dikategorikan sebagai kesalahan fatal dari sudut pandang ilmiah.
Berikut ini tangkapan layar transkrip wawancara Hadi Pranoto dengan Anji:
1. Panas sinar matahari memang bisa membunuh virus
Berikut jawaban dari situs resmi WHO ( https://www.who.int/news-room/q-a-detail/q-a-coronaviruses)Â
"Riset menunjukkan bahwa virus corona (termasuk informasi awal mengenai COvid-19) dapat bertahan di permukaan selama beberapa jam sampai beberapa hari. Hal ini tergantung aneka faktor (misalnya jenis permukaan, suhu dan kelembaban lingkungan). Bagaimanapun, tidak ada bukti bahwa sinar matahari membunuh virus korona baru (Covid-19).
Dalam wawancara dengan BBC Future, William Bryan, seorang ilmuwan, berpendapat bahwa:
- Tidak ada yang tahu berapa lama dan berapa intensitas sinar matahari diperlukan untuk menonaktifkan Covid-19
- Jumlah UV sinar matahari bervariasi tergantung pada waktu, cuaca, musim, dan lokasi di mana Anda tinggal. Artinya, ini tidak akan menjadi cara yang dapat diandalkan untuk membunuh virus.
- paparan berlebihan sinar UV justru dapat menyebabkan kerusakan, dan meningkatkan risiko kanker kulit.
- Saat virus ada di dalam tubuh Anda, paparan sinar UV tidak akan berdampak untuk menyembuhkan infeksi.
Kesimpulan: panas matahari tidak dapat diandalkan untuk membunuh virus, apalagi jika virus sudah ada dalam tubuh pasien.
2. Virus yang begitu kuat dosisnya
Pernyataan yang janggal. Dalam KBBI V edisi daring, makna kata dosis adalah:
- n   Dok   takaran obat untuk sekali pakai (dimakan, diminum, disuntikkan, dan sebagainya) dalam jangka waktu tertentu.
- n   Dok   ukuran pengobatan yang harus diberikan untuk jangka waktu tertentu (tentang radiasi atau penyinaran pada daerah atau bagian tubuh tertentu)
- n   Fis   jumlah energi atau tenaga yang diberikan oleh zarah pengion kepada suatu satuan massa bahan yang disinari atau diradiasi pada tempat yang diselidiki atau diminati
Tidak ada istilah "dosis virus".Â
3. Indonesia agraris, ada panas ada hujan
Kata "agraris" berarti "pertanian". Tidak ada sangkut pautnya dengan adanya (musim) panas dan (musim) hujan. Mungkin yang dimaksud Hadi Pranoto adalah "tropis", bukan agraris.
4. membunuh genetik dari Covid-19
Kata "genetik" berarti "berhubungan dengan keturunan atau gen". Kalimat yang tepat seharusnya "membunuh virus Covid-19".
5. Kita butuh kepanasan di atas 350 derajat
Lagi-lagi pemakaian kata yang salah besar. Kepanasan seharusnya diganti "panas".
6. Baja meleleh di atas 350 derajat
Pernyataan yang kurang tepat. Ini informasi dari situs pengelasan:
Kesimpulan umum: Sebagian (besar) pernyataan Hadi Pranoto tidak didukung bukti ilmiah dan secara kebahasaan tidak tepat.Â
Siapa "Profesor" Hadi Pranoto?
Menurut Permenpan 46 th 2013 (pasal 26 ayat 3), syarat untuk mencapai jenjang Profesor/Guru Besar antara lain adalah:
1) Â memiliki ijazah Doktor (S3) atau yang sederajat;
2) Â paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah Doktor (S3);
3)  karya ilmiah yang dipublikasikan pada  jurnal internasional bereputasi.
Penelusuran pada laman Google Scholar, Scopus, dan SINTA Ristekbrin untuk nama Hadi Pranoto dengan penelitian terkait mikorbiologi dan Covid-19 tidak menghasilkan hasil pencarian relevan.
Ada nama Hadi Pranoto, namun foto dan bidang ilmu bukan seperti Hadi Pranoto yang diwawancarai Anji. Beberapa berita yang memuat nama Hadi Pranoto dimuat situs dengan kredibilitas meragukan.Â
Nama Hadi Pranoto dikaitkan dengan "Tim Riset Herbal COVID-19 untuk Bangsa". Tim ini beranggotakan Surya Atmaja, Hadi Pranoto dan Mukhlis Ramlan.Â
Tidak ada gelar akademik dan lembaga akademik yang disebutkan dalam rilis pers yang dimuat beberapa media. Menurut Kompas.com, ternyata sosok Hadi Pranoto sempat muncul di pemberitaan yang viral karena mengundang raja dangdut Rhoma Irama di Bogor saat pandemi Covid-19.
Hadi Pranoto ternyata keluarga pengundang Rhoma Irama dalam gelaran hajatan khitanan saat pandemi di Bogor. Hal ini tentu saja menyalahi protokol kesehatan.Â
Hikmah untuk Anji dan Pembuat Konten
Anji adalah musisi budiman. Tidak ada keraguan soal kiprahnya di dunia musik tanah air. Menjadi rawan ketika seorang musisi membuat konten di luar bidang yang ia kuasai, yakni penanggulangan pandemi.
Anji sebagai pembuat konten dan influencer tenar kiranya perlu dengan rendah hati memperbaiki mutu unggahan medsos dan kontennya terkait Covid-19.
Alih-alih mengundang sosok "profesor" yang pernyataannya janggal dan keliru (besar), Anji sebaiknya mengundang dokter, ahli dan pejabat terkait, dan mantan pasien serta keluarga mantan pasien Covid-19 sebagai narasumber tepercaya.Â
Anji perlu lebih cermat lagi memilih narasumber dan lebih bijak menayangkan materi konten. Menyebarkan informasi sesat sangatlah berbahaya. Juga bisa membuat Anji terjerat pasal hukum negara. Sekadar nostalgia saja, ini unggahan Anji pada 2015:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H