Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Diam-diam Kita "Dipaksa" Punya Ponsel sebagai New Normal, Tak Punya Ponsel Berarti Abnormal?

15 Juni 2020   08:10 Diperbarui: 16 Juni 2020   10:02 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman kiwari, telepon seluler bagi orang modern sudah jadi bagian hidup. Generasi baby boomer pun kalah jauh dari kids zaman now yang sejak kecil sudah dicekoki gawai oleh orang tuanya. 

Meski begitu, toh ada juga orang-orang yang tidak (ingin) menggunakan ponsel meski mampu membelinya. Mereka ini sebagian besar memang generasi zaman old yang merasa tidak perlu memiliki ponsel. Apalagi bila hidup di desa, dekat dengan anak dan cucu. Tak perlu ponsel.

Akan tetapi, rupanya ada juga orang-orang istimewa yang menolak menggunakan ponsel, antara lain:

Pertama, orang yang ingin hidup sederhana. Kalangan ini ingin hidup ugahari, cukup dengan apa yang esensial dalam hidup. Termasuk dalam kelompok ini kaum biarawan-biarawati sejumlah agama yang memang berkaul hidup sederhana. 

Kedua, orang yang ingin hidup lebih tenang. Banyak pula orang yang merasa bahwa ponsel dan aneka gawai justru membuat cemas dan depresi. Betapa tidak, WA grup lebih banyak diisi berita hoaks dan unggahan sampah. SMS bertubi-tubi isinya iklan pinjol. Bukannya damai, justru galau yang didapat. 

Ketiga, orang-orang yang pernah memiliki ponsel, namun akhirnya berhenti karena alasan pribadi. Misalnya, takut dihubungi penagih utang, takut ditangkap aparat, trauma dikejar-kejar tagihan ibu kos, atau cemas dikejar-kejar pengagum rahasia (cie..cie..).

Nasib Orang yang Tidak (Ingin) Punya Ponsel  
Saya punya teman, seorang bule. Ia sudah berusia lebih dari 50 tahun. Ia sebenarnya tidak gaptek. Buktinya, dia mahir menggunakan komputer dan tablet. 

Akan tetapi, ia sudah sejak puluhan tahun tidak pernah punya ponsel. Mengapa? Ia sudah punya telepon rumah dan merasa cukup dengan itu.

Baru-baru ini, ia mengeluh pada saya. "Sial...aku dipaksa beli ponsel." Saya agak heran mendengar keluhan itu. "Kenapa bisa begitu, bro. Siapa yang memaksamu?" tanya saya. 

"Sekarang pesan apa-apa harus pakai nomor ponsel. Bank di negeri asalku juga tidak lagi menerima hanya nomor telepon rumah. Aku protes. Ini diskriminasi terhadapku dan orang lain yang memang tidak punya ponsel," katanya. 

Saya sejenak berpikir. Benar juga, ya. Sekarang semua bank sepertinya mewajibkan klien punya nomor ponsel untuk protokol keamanan transaksi. Lalu, bagaimana nasib teman saya yang cuma punya telepon rumah? 

Dia melanjutkan penuturannya. "Aku protes ke layanan konsumen. Tahu nggak, apa jawaban mereka? Aku malah ditanya, 'Lho, kenapa Anda tidak beli saja satu ponsel? Kan Anda punya uang."

Mendengar penuturan kawan saya tadi, saya ingin ketawa tapi takut dosa. Duh, kasihan betul teman saya ini. Dia "terpaksa" membeli ponsel demi memenuhi aturan bank. Dia seolah dipaksa mengikuti arus utama kemajuan zaman. Akhirnya, ia membeli ponsel!

Entah benar atau tidak, diam-diam ada "konspirasi gombal" eh "konspirasi global" yang memaksa orang untuk akhirnya memiliki ponsel. 

Apakah teman saya tadi satu-satunya orang yang merasa didiskriminasi gegara tak punya ponsel? Entahlah, pembaca sila berbagi kisah. 

Yang jelas, produksi dan penggunaan ponsel secara masif sejatinya mendatangkan juga mudarat di balik manfaat. 

Beberapa dampak negatif gaya hidup serbaponsel:

  1. Menghasilkan sampah elektronik yang bisa berbahaya jika tak didaur ulang dengan baik. 
  2. Menjadi pemicu kerusakan lingkungan akibat tambang bahan baku ponsel.
  3. Rawan pencurian data, penipuan dan juga hoaks. 
  4. Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.

Meski demikian, sepertinya alasan-alasan tadi tak mampu membendung hasrat banyak orang untuk memiliki ponsel. Tak cukup satu. Satu untuk hubungi pasangan. Satu lagi untuk cari pasangan baru (Ups!) 

Kalau bisa, ponsel tercanggih yang bisa dilipat-lipat. Hmm, itu ponsel apa origami, sih? 

Ya begitulah. Terdorong oleh kepraktisan dan modernitas, kita seakan harus tunduk pada keharusan memiliki ponsel (banyak dan terbaru) di zaman kiwari. Rupanya, diam-diam kita "dipaksa" punya ponsel.

Memiliki ponsel adalah new normal. Tidak punya ponsel, apa artinya kita abnormal? 

Hiks...masa sih?

Titik Jenuh
Tentu saja, tetap ada pribadi-pribadi yang sedang dan akan tetap tidak (ingin) memiliki ponsel, bahkan jika ponsel dibagi gratis sekalipun. 

Tak menutup kemungkinan, pada suatu titik tertentu, sebagian orang akan jenuh dengan ponsel yang kadung mendominasi hidup manusia modern. 

Mungkin ketika ponsel pada akhirnya terasa begitu mengganggu, kita akan berontak terhadap "keterpaksaan" memiliki ponsel sebagai new normal. Akhirnya, kita memilih menjadi orang yang tak punya ponsel dan dianggap abnormal.  

Andakah salah satunya yang ingin berontak terhadap new normal dalam hal gaya hidup serbaponsel? Apa saat ini Anda juga berpikir, hidup Anda akan lebih damai tanpa harus punya ponsel? Apa Anda berencana berhenti memakai ponsel? Apakah Anda sudah jenuh hidup terikat pada ponsel?

Jika ya, tolong sumbangkan ponsel Anda pada saya, fakir miscall yang punya ponsel berinternet dan hobi pasang permintaan bantuan di kolom komentar artikel Kompas.com. Padahal, saya bisa ikuti program #jernihberkomentar di Kompas.com dengan hadiah voucher belanja jutaan rupiah. Klik ini. 

Maaf, bercanda garing dikit ga apa-apa, kan. Sambil promosi terselubung dan beri kode pada Mbak Mimin Kompasiana :) 

Sekarang pertanyaan serius dan mendalam: Jika Anda bisa memilih untuk lahir kembali, lebih senang lahir di zaman sebelum ponsel meraja atau zaman di kala orang-orang berkata,

'Aku punya ponsel, maka aku ada. Tanpa ponsel, aku (dianggap) tidak ada'?

Huft...serius banget ya pertanyaannya. Udah, ga usah pusing. Mending baca cuitan "bibir turah" di Twitter, kepoin IG artis Korea, atau nonton siaran pers dokter Reisa sang jubir satgas corona di ponsel Anda. 

Dugaan saya, sebagian besar pria -demi menjaga kesehatan dan mendukung upaya pemerintah- akan memprioritaskan nonton siaran pers tentang corona. Sekian dan salam sehat. 

NB: Saya tidak menerima titipan sponsor dari pihak tertentu dalam penulisan artikel ini. Kalaupun ada, itu gak sengaja ^_^.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun